Senin, 01 Agustus 2011

MEMAHAMI KEMBALI DOKTRIN TASAWUF FALSAFI


Dalam dunia tasawwuf, umat Islam penah disuguhi paham-paham nyeleneh yang dimunculkan oleh toko-tokoh besar yang bergelut didalamnya. Abu Mansour Al-Hallaj (W. 309 H) harus mengahiri hidupnya ditiang gantungan, karena paham Hululnya dianggap melenceng dari agama. Al-Bhusthami(W. 201 H.) juga harus bernasib sama, karena paham Fana’nya juga dianggap keluar dari ajaran Islam. Hal ini tidak hanya terjadi pada orang luar saja, bahkan di Jawa, Syeikh Siti Jenar harus mengahiri hidupnya di tangan para wali yang saat itu menghakiminya karena menganggap paham Manunggaling Kawulo lan gusti melenceng dari Islam dan harus dijauhkan dari umat.
          Namun yang paling kontroversial adalah paham Wahdatul wujud yang di usung oleh seorang sufi besar bernama Ibnu Arabi. Sama dengan paham-paham yang lain, paham ini (Wahdatul wujud), juga mengakui adanya penyatuan antara Tuhan dan manusia atau dalam istilah ilmiahnya ada unsur imanensi antara sang Pencipta dan yang diciptakan.
          Benarkah paham-paham nyeleneh diatas melanggar agama dan sesat?. Tulisan ini mencoba menguraikan dengan singkat apa sebenarnya doktrin Wahdatul wujud itu, apakah memang betul melenceng dari agama, atau hanya kesalahan persepsi saja?. Doktrin Wahdatul wujud adalah doktrin yang mengajarkan bahwa ada penyatuan atau imanensi antara Tuhan dan manusia, jika doktrin tersebut dipahami sesempit ini, maka dengan jelas kita menganggap bahwa doktrin tersebut melenceng dari agama. Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Dr. Kautsar Azhari Noor dalam bukunya “Tasawwuf Perenial” menulis bahwa Wahadatul Wujud bukanlah menyamakan antara Tuhan dengan mahluk secara total, akan tetapi pada doktrin Wahdatul Wujud itu ada dua dimensi yang harus diperhatikan.
          Mayoritas masyarakat, utamanya orang-orang yang menganggap bahwa doktrin Wahdatul Wujud sesat, hanya memandang dari satu dimensi saja, yaitu dimensi imanensi atau (Tasybih: penyerupaan antara Tuhan dan manusia). Mereka tidak memandang dimensi lain yang juga sangat fundamental keberadaannya. Dimensi ini disebut dengan dimensi transenden (Tanzih: penyucian terhadap Tuhan). Dari dua dimensi ini, dapat dipahami bahwa doktrin Wahdatul Wujud tidaklah menekankan aspek imanennya saja, akan tetapi juga mengusung sisi transendennya, dalam artian, Tuhan tidak hanya imanen tapi juga transenden.
          Ungkapan-ungkapan aneh seperti Ana Al-Haqq-nya Al-Hallaj atau Subhani-nya Al-Busthami tidak bisa secara langsung diartikan sebagai bentuk penyamaan total antara tuhan dan manusia. Dimata kaum sufi, semua yang ada dalam dunia ini adalah bentuk tajally dari Tuhan, jadi tidaklah salah jika kaum sufi meyakini adanya “penyatuan” antara Tuhan dan hambanya, bentuk penyatuan ini bukanlah penyatuan total yang sama sekali tidak membedakan antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai mahluk yang diciptakan. Akan tetapi pada penyatuan ini, juga ada penyucian terhadap Tuhan secara total. Meskipun mereka meyakini adanya penyatuan dengan Tuhan, tapi mereka juga menyucikan penyatuan mereka dengan tetap meyakini bahwa antara Tuhan dan diri mereka ada perbedaan nyata.
          Sehingga jika demikian, Tuhan mempunyai dua dimensi wajib, yaitu dimensi imanen dan transenden. Kalau kita pahami lebih komprehensif, maka doktrin Wahdatul Wujud bukanlah doktrin sesat yang tidak boleh disebarkan pada setiap orang. Akan tetapi, doktrin ini bukanlah konsumsi bagi orang biasa yang belum paham tentang agama secara mendetail. Bahkan bisa dikatakan dengan tegas bahwa doktrin ini adalah ajaran tauhid utama yang menunjukkan adanya kesucian jiwa dan raga tuk menuju Tuhan yang Maha kuasa.

1 komentar: