Senin, 01 Agustus 2011

Meluruskan Makna Qishas


Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan teman-teman di kelas kuliah, masih banyak dari mereka yang menganggap bahwa hukum qishas termasuk hukum yang tak manusiawi. Terlebih untuk saat ini, istilah qishas begitu familiar, utamanya pasca dipancungnya TKW Indonesia di Arab Saudi, Ruyati.
Menurut kalangan yang tidak menyepakati, qishas dianggap sebagai hukum rimba yang tak lagi relevan untuk diaplikasikan. Padahal, dilihat dari sumber pengukuhannya, hukum qishas ditetapkan secara langsung oleh agama (al-Qur’an). Anggapan yang menyatakan bahwa hukum qishas tidak manusiawi lahir dari kurang pahamnya mereka pada tujuan disyari’atkannya qishas dalam hukum pidana Islam. Padahal, pemberlakuan qishas dalam hukum pidana Islam tak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat Arab sebelum Islam datang.
Qishas (hukuman setimpal), sudah ada dan dipraktekkan oleh masyarakat Arab pra Islam. Namun demikian, pada masa itu, qishas lebih diartikan sebagai balasan setimpal yang lebih mengarah pada balas dendam. Dalam tradisi masyarakat pra Islam, balas dendam atas terbunuhnya seseorang akan terus berlangsung hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Sehingga, apabila terjadi kasus pembunuhan, dendam turun temurun antar keluarga pun tak bisa dihindari.
Potret masyarakat Arab pra Islam memang dikenal sebagai masyarakat bar-bar. Tak heran bila kemudian mereka (baca: masyarakat Arab pra Islam) dicap sebagai masyarakat Jahiliyah. Mengubur hidup-hidup anak perempuan adalah salah satu tradisi yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian Islam datang untuk merubah tradisi itu. Tradisi Arab yang awalnya bersifat otoriter dirubah menjadi egaliter. Dari tradisi patriarkal diganti menjadi tradisi bilateral.
Qishas dalam konfigurasi Al-Qur’an
Syari’at Islam diturunkan untuk melindungi lima prinsip dasar yang menjadi tujuan diberlakukannya sebuah aturan. Kelima prinsip dasar tersebut adalah menjaga agama (hifdzu ad-Din), menjaga jiwa (hifdzu al-Nafs), menjaga keturunan (hifdzu an-Nasl), menjaga harta (hifdzu al-Mal), dan menjaga akal (hifdzu al-‘Aql). Kelima prinsip dasar ini menjadi basis epistemologis dalam setiap aturan yang ditetapkan oleh Islam.
Hukuman qishas ditetapkan untuk melindungi salah satu dari kelima prinsip di atas, yakni menjaga jiwa. Dalam Islam, jiwa (nyawa) merupakah harta yang paling berarti. Oleh sebab itu, secara tegas Islam melarang menghilangkan nyawa seseorang (pembunuhan) tanpa adanya alasan yang jelas. Bahkan bagi pelaku pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, al-Qur’an mengancamnya dengan balasan neraka jahanam. Untuk melindungi jiwa agar tidak hilang secara percuma, Islam menjadikan hukum qishas sebagai tameng agar seseorang tidak ceroboh melakukan tindakan pembunuhan. Bahkan secara tegas al-Qur’an menyatakan bahwa qishas bertujuan untuk melestarikan kehidupan, dan bukan sebaliknya sebagaimana dipahami sebagian kalangan.
Qishas yang ada dalam al-Qur’an berbeda dengan qishas yang menjadi tradisi Arab pra Islam. Qishas dalam al-Qur’an menganut prinsip keadilan, yakni nyawa dibalas nyawa. Dalam qishas Islam, keadilan bagi si korban menjadi tujuan fundamental di balik pemberlakuan hukuman qishas tersebut. Keadilan bagi si korban juga mencakup masa depan keluarga yang ditinggalkan, baik masa depan mental maupun material. Untuk itu, tak tepat rasanya apabila ada anggapan yang meyakini bahwa qishas merupakan hukum rimba yang tak manusiawi. Karena bagaimana pun, qishas diterapkan untuk melindungi kehidupan.
Namun yang harus dipahami, qishas bukanlah satu-satunya hukuman yang ditetapkan Islam. Ada hukuman alternatif yang bisa ditempuh dengan persetujuan keluarga si korban, yakni pemberian maaf dari keluarga yang dibarengi dengan membayar denda (diyat). Jumlah denda yang harus dibayar ditentukan oleh keluarga si korban. Sebenarnya, ketentuan qishas dalam al-Qur’an merupakan langkah prefentif agar tak ada seorang pun yang dengan gampangnya menghilangkan nyawa manusia tak berdosa. Langkah prefentif diambil untuk membuktikan bahwa jiwa (nyawa) adalah harta manusia yang paling berharga dan wajib dijaga.
Ruyati dan kelemahan diplomasi Indonesia
Apa yang terjadi pada Ruyati tak tepat bila dilihat dari sistem qishasnya. Karena bagaimana pun, qishas sudah menjadi aturan yang dipilih oleh pemerintah Arab Saudi sebagai sistem hukum. Qishas tak bisa disalahkan. Ia sudah menjadi ketentuan yang wajib ditaati oleh siapa pun yang ada di wilayah yang menggunakan sistem qishas sebagai aturan hukum.
Tentu yang pantas disalahkan dalam kasus Ruyati adalah pemerintah. Pemerintah sangat lamban dalam memberi jaminan perlindungan bagi TKI yang tersebar di berbagai negara. Bahkan, untuk kasus Ruyati misalnya, pemerintah sangat terlihat lamban dalam mengawal kasus yang menimpa TKW yang bekerja di Arab Saudi itu. Bagaimana mungkin pemerintah bisa dikatakan sudah melakukan advokasi, sedangkan proses eksekusi Ruyati mereka tak dikabari?
Andai saja pemerintah serius mengawal kasus Ruyati, mungkin peristiwa memilukan itu tak akan terjadi. Memang hukuman qishas tak bisa disalahkan. Namun, bila pemerintah benar-benar serius mengupayakan permohonan maaf kepada keluarga korban yang dibunuh Ruyati, tentu hukuman qishas bisa dihindari. Permohonan maaf bisa diupayakan dengan pendekatan diplomasi politik. Tapi, karena sejak dahulu diplomasi politik Indonesia lemah dan tak punya daya tawar, celah permohonan maaf yang seharusnya dimanfaatkan secara maksimal terbuang percuma. Dengan demikian, yang bermasalah bukanlah qishas yang menjadi aturan pemerintah Arab Saudi, melainkan keseriusan pemerintah dalam mengawal dan melindungi TKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar