Senin, 01 Agustus 2011

IQBAL DAN PEMIKIRAN METAFISIKANYA


Muhammad Iqbal adalah seorang pemikir hebat yang pernah lahir dalam dunia pemikiran muslim kontemporer. Iqbal adalah sosok pemikir yang disegani tak hanya di dunia muslim, melainkan juga di dunia barat. Kehebatan Iqbal memang tidak perlu diragukan lagi. Pemikirannya dijadikan referensi, khususnya bagi orang yang menaruh perhatian pada perkembangan pemikiran Islam. Pada intinya, ketika kita membicarakan pemikiran Muhammad Iqbal, poin terpenting dari pemikirannya adalah proyek rekonstruksi pemikiran dalam Islam (The Reconstruction of Religious Thought  in Islam). Proyek ini adalah puncak pemikirannya. Sebagai seorang filosof-penyair, Iqbal berupaya untuk merekonstruksi pemikiran dalam dunia Islam yang dianggapnya “sedang” mengalami kestatisan. Iqbal menyuguhkan pemikirannya dalam sebuah karya monumental, The Reconstruction of Religious Thought  in Islam. Pemikiran Iqbal dalam buku ini sulit dipahami. Dan Untuk memahami pemikiran sang filosof-penyair ini diperlukan pemahaman yang mendalam pula terhadap konsep metafisikanya.
Bagi Iqbal, filsafat modern yang berkembang di Barat cenderung mendewakan rasionalitas dan terjebak pada aliran positivistik. Oleh sebab itulah Iqbal mencoba untuk “menyadarkan” orang Barat bahwa dunia pemikiran tidak hanya terbatas pada apa yang nyata dan faktual. Begitu pula fenomena bukanlah satu-satunya realitas yang ada, melainkan di balik itu masih ada realitas lain yang lebih penting, yaitu noumena. Iqbal mencoba membebaskan pemikiran-pemikiran filsafat yang hanya membatasi diri pada hal-hal yang nyata saja. Bagi Iqbal, pemikiran seharusnya tidak berhenti pada aspek-aspek lahiriah saja, melainkan mencoba lebih radikal masuk pada yang ada “dibalik” yang nyata.
Oleh sebab itulah Iqbal merumuskan konsep Metafisika yang kemudian menjadi petunjuk untuk memahami kerumitan pemikiran filosofisnya. Konsep metafisika Iqbal dimulai dengan mendiskusikan intuisi diri, kemudian intuisi realitas, dan langkah terakhir intuisi realitas absolute (Tuhan). Mengapa harus intuisi? Iya, intuisi adalah satu-satunya cara untuk membebaskan manusia dari “kerangkeng” positivistik yang harus diakui saat ini memang menjadi mainstream mayoritas. Melalui intuisi lah hal-hal yang dianggap tidak ada menjadi ada. Intuisi juga mampu menyingkap hal-hal yang dianggap tertutup dan sulit dijangkau. Intuisi masuk pada diri manusia sebagai sebuah realitas yang dijangkau, tapi bukan oleh persepsi dan pikiran, akan tetapi hanya bisa dijangkau dengan hati dan perasaan.
Ada beberapa ciri dari intuisi. Pertama, intuisi adalah sebuah pengalaman singkat (immediate experience) tentang Yang Nyata, sehingga sesuatu yang Absolut pun (baca:Tuhan) bisa dipahami secara langsung layaknya manusia memahami objek lainnya. Kedua, intuisi adalah milik khas hati, ia bukan milik akal ataupun intelek. Akal dan intelek manusia hanya mampu menjangkau fenomena, sedangkan hati mampu menerobos lebih jauh, yakni mampu menelusup masuk ke realitas tertinggi, nomena. Hati membawa manusia berhubungan dengan aspek realitas, bukan membuka persepsi indrawi. Ketiga, intuisi adalah keseluruhan yang tak teranalisa. Dalam intuisi itu, keseluruhan realitas berada dalam kesatuan yang tak terbagi. Bahkan pelaku pengalaman itu sendiri dianggap tenggelam dalam kesatuan itu. Sehingga kemudian tidak akan ditemukan perbedaan antara “diri” dan bukan-diri. Pelaku pengalaman menjadi lupa akan dirinya sendiri, karena memang mereka telah melebur dengan realitas itu, sehingga ia menjadi objek dari dirinya. Keempat, melalui intusi, “kesatuan yang tak terurai” ini akan menyatakan menjadi diri yang unik. Ia memanefestasikan dirinya sebagai person yang transenden, ia seakan seperti sesuatu “Di Atas Sana” yang sulit dijangkau. Kelima, kegiatan ber-intuisi, dan karena ia menerima realitas sebagai sebuah keseluruhan, maka kemudian menyebabkan lahirnya anggapan bahwa “waktu serial” itu tidak nyata.
Bagi Iqbal, memulai dari intusi diri adalah hal yang harus di lakukan. Hal ini berbeda dengan pemahaman para kaum mistikus yang memulai proses berintuisi dari Yang Absolut. Sedangkan intuisi Iqbal bertitik tolak dari diri yang tidak lain merupakan realitas terdekat bagi “diri” kita yang unik. Setelah intuisi diri, baru melangkah pada intuisi berikutnya, yakni intuisi realitas sekitar. Setelah itu, baru lah melangkah pada intuisi tertinggi, yakni intuisi realitas Absolut. Pada saat intuisi realitas Absolut lah segala bentuk penyingkapan akan terjadi, tidak akan ada lagi selubung-selubung yang mencoba menutupi semua realitas. Karena realitas itu sendiri adalah kita yang ter-intuisikan. Dan buku ini layak diapresiasi, khususnya bagi orang-orang yang “ingin” mendalami pemikiran Muhammad Iqbal. Dengan membaca buku ini, orang-orang yang ingin “membaca” Iqbal seakan-akan diantarkan pada pokok pemikirannya, yakni The Reconstruction of Religious Thought  in Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar