Senin, 01 Agustus 2011

Catatan Cinta untuk Bunga


Suatu malam di bulan Agustus
Aku mulai tulisan ini dengan kata-kata cinta. Sengaja aku persembahkan untukmu, Bunga. Di antara sekian kata-kata itu, hanya satu yang tersisa: rindu ini untuk siapa?. Bunga, memang tak mudah untuk setia. Apalagi bila aku dituntut untuk tak mendua. Pahamilah aku dengan segala kekuranganku. Biarkan aku mencintaimu dengan caraku. Dan merindumu dengan hatiku. Tak perlu kau meminta, karena aku pasti tetap mencinta.
Bunga, di malam ini, akan aku lukis namamu di kanvas hatiku. Akan Aku pamerkan nama indah itu pada mereka yang mengerti keindahan. Juga pada mereka yang tak percaya kesetiaan. Aku percaya, setelah mereka tau nama indahmu, tak akan ada lagi keindahan yang mereka puji selain indahnya namamu. Tak akan ada lagi orang yang tak percaya kesetiaan, karena mereka sadar bahwa namamu menuntut untuk setia. Paling tidak sekedar mencoba. Bila tak bisa setia, berarti mereka tak paham cinta.
Bunga, teduhnya senyummu itu, membangunkanku dari tidur panjang. Tatapan matamu yang tajam, mematikan ego cintaku yang selama ini terpendam. Di balik diammu itu, tersimpan kata yang hanya bisa dipahami dengan bahasa cinta. Dari tingkah anggunmu terwakili sempurnanya jiwa. Kau begitu sempurna di mataku, Bunga. Sesempurna perasaanku malam ini: tunduk dan jatuh hati padamu. Janjiku padamu adalah sumpah setiaku. Cintaku padamu adalah jalan hidupku. Menyebut namamu adalah dzikir hatiku. Membayangkanmu adalah nafas pagiku. Ingatkah dirimu akan kesetiaan yang aku janjikan di malam itu? Itu bukan permainan kata-kata, bunga. Tapi itu adalah ungkapan jiwa!.
Bunga, kamu boleh tak percaya bila aku sekarang memikirkanmu. Kamu boleh tak percaya bila sekarang aku merindumu. Percaya atau tidak, bagiku bukan hal penting yang harus difikirkan. Tapi lebih dari itu, Bunga. Rinduku tak bisa dibahasakan dengan kata-kata. Memikirkanmu tak bisa dilukiskan dengan sekedar menyapa.
Bunga, bolehkah aku mengagumimu malam ini? Jawab pertanyaanku melalui isyarat angin malam. Bila iya, biarkan angin itu menerpa tubuhku. Tapi bila tidak, biarkan angin itu lewat tanpa menyentuh tubuhku sedikit pun. Bunga, malam ini, aku ingin mengagumimu dengan untaian kata-kata yang sengaja aku cipta. Bolehkan aku mengutarakannya padamu?, tapi lewat siapa? Bersediakah arak-arakan awan itu membacakannya untukmu?.
Awan, bersediakah dirimu membacakan puisiku untuknya. Puisi yang sengaja aku rangkai demi Tuhan yang menciptakannya. Bila dirimu bersedia, ajaklah pula bulan itu untuk menyandingimu. Dan suruhlah bintang-bintang itu membentuk namanya di angkasa. Biarkan semua makhluk langit tau bila di dunia ada nama yang begitu indah, bahkan lebih indah daripada beribu-ribu bidadari di surga.
Dulu, sebelum mengenal apa itu cinta, aku tak peduli dengan keindahan. Sekarang, setelah aku mengetahui nikmatnya itu, keindahan adalah segalanya bagiku. Bunga, di balik keindahanmu itu, ada sesuatu yang memaksaku menanggalkan keegoanku: yaitu teduhnya tatapanmu. Tatapanmu itu, Bunga. Mungkin dirimu tak menyadari bila tatapanmu itu yang menghujam jantungku. Kau kirimkan pada hatiku perasaan yang memaksaku menerimanya dengan rasa kagumku. Semakin lama rasa kagum itu berubah jadi cinta. Dan cinta ini yang sekarang mengurungku dalam harap. Bunga, aku mohon padamu, pahami isyarat cinta ini dengan hatimu. Jawablah itu dengan hatimu, bukan dengan tekanan ataupun keterpaksaan. Yakinlah bahwa cintaku ini sejati, sejati karena aku telah jatuh cinta berkali-kali, tapi tetap pada satu hati: dirimu!.
Bunga, bila cintaku ternyata menyakitimu, aku siap membuang cintaku demi dirimu. Bila rindu ini ternyata membatasi gerakmu, aku siap menanggalkan semuanya untukmu. Tapi, Bunga, bukankah cinta itu tak membuat orang jadi sedih? Bukankah rindu tak membuat orang jadi terbatasi?. Memang sulit menerima kisah ini. Kisah yang sudah terlanjur tertulis rapi, serapi perasaan dalam hati. Membunuh cinta yang kupunya bisa aku lakukan demi dirimu. Menghancurkan rindu yang membara bisa aku lakukan demi senyummu. Itu janjiku, Bunga.
Bukankah sudah kukatakan padamu sebelumnya bila senyummu adalah tujuanku? Senyummu bagiku adalah penyemangat hidup yang bisa membangunkan semangatku dari kematian. Senyummu bagiku adalah oase di padang gersang cinta dan rinduku. Aku tak mengharap balasan cintamu, Bunga. Bukan pula aliran rindumu. Tapi hanya satu yang kuharap: senyummu.

Suatu saat di pagi yang indah
Bunga, aku ingin menjadi embun yang selalu setia menemani pagi meski pagi selalu membagi cintanya pada matahari. Kesetiaanku padamu adalah janji yang selalu tertanam dalam hati. Kesetiaanku bukan hanya ucapan siang yang bisa hilang di saat sore menjelang. Bukan pula seperti ungkapan malam yang bisa tenggelam oleh gelapnya awan. Bila dirimu mengijinkanku memujimu, aku berjanji tuk mengungkapkan pujian terbaik yang ada di kolong bumi dan langit. Pujian yang hanya dinikmati seumur hidup. Pujian yang mewakili perasaan hati seorang insan. Pujian yang akan menggetarkan telinga Tuhan pencipta keindahan. Sungguh…betapa agungnya Tuhan yang menciptakanmu. Pujian ini aku persembahkan untukmu. Dan pujian ini aku awali dengan menyebut nama-Nya, dan berakhir dengan nama-Nya pula.
Bunga, taukah dirimu bila pagi ini matahari begitu angkuh. Sinarnya menerobos ke dalam jantungku. Matahari ini terlalu sombong, Bunga. Mentang-mentang dia menyinari jagad raya dia merasa dirinya paling hebat. Tapi bagiku tidak, matahari tak menyinari apapun dalam kehidupanku. Bukan matahari pagi ini yang menyinariku. Tapi dirimu yang menyinariku. Sinar yang keluar dari senyummu itu yang memberiku cahaya pada hidupku. Sungguh, matahari bagiku tak ada apa-apanya. Tanpa matahari pun aku bisa hidup asalkan dirimu masih ada untuk menyinariku. Aku tak butuh apa pun di dunia ini melainkan senyummu. Bahkan keinginanku hanya satu: mati melihat senyummu.
Tuhan, aku tau dirimu yang memiliki Bungaku. Dirimu yang menciptakannya. Dirimu pula yang memberinya senyum mempesona. Andai aku bisa menemuimu pagi ini, akan kuminta Dirimu membuang Matahari di atas sana. Dan aku akan memintamu mengganti matahari dengan senyum Bungaku. Biar mahluk langit dan bumi tau bila senyum bungaku lebih bersinar daripada matahari. Bila malam tiba, akan kuminta Dirimu membuang rembulan dan bintang gemintang. Dan akan kuminta Dirimu menggantinya dengan senyumnya. Biar awan tau bila sinar Bungaku tak bisa ditenggelamkan oleh gelapnya.  Andai saja orang tau yang sebenarnya, mereka tak akan pernah menganggapku gila. Tapi, Bunga, aku tak pernah merasa marah atau pun gundah dikatakan gila, asalkan gila karenamu. Bagi mereka yang tak paham kegilaanku, pasti mereka menganggap aku tak normal. Tapi percayalah, bahwa mereka sebenarnya yang tak normal. Mungkin karena mereka tak paham indahnya senyum. Yang mereka pahami hanya indahnya dunia yang penuh fatamorgana.

Di suatu siang yang membosankan…
Kekosongan hatiku adalah bukti bila aku masih menunggu. Isilah lubang ini biar aku tak merasa kesepian lagi. Bunga, dari sisa-sisa nafasku ini, akan kusisakan untukmu sepenggal nafas yang di dalamnya mengalir namamu.  Nafas yang mungkin saja tak akan kunikmati lagi nanti. Tapi, Bunga, percayalah bila cintaku hanya bisa berahir nanti saat aku mati. Dan rinduku pun hanya bisa berakhir bila dunia sudah tak lagi bermentari. Itu janjiku, Bunga. Sekali lagi, itu janjiku.
Bunga, di bulan suci ini, kusucikan rindu dan cintaku untukmu. Kusematkan munajat cinta yang mengalir dari mulut kecilku. Akan kukatakan pada Tuhan bahwa di bulan yang suci ini jadikanlah kesucianmu sebagai penguat ibadahku. Senyumanmu sebagai pembuka santap puasaku. Kesucian bulan Ramadhan ini akan aku isi dengan dzikir cinta yang tulus dari lubuk hatiku. Bunga, dosakah bila di bulan suci ini aku tetap merindumu? Dosakah bila di bulan suci ini bayangmu tetap menghantuiku? Bila berdosa, mengapa Tuhan menciptakan cinta? Aku yakin bila cinta dan rinduku adalah ibadah. Ibadah seorang hamba yang selalu mencari cinta lewat anugerah Tuhan yang diberikan padanya.

Di suatu malam di bulan Ramadhan…
Bunga, taukah dirimu bila aku memulai bulan Ramadhan ini dengan bahagia. Aku bahagia karena bisa lebih sering memunajatkan cintaku pada-Nya. Kesucian bulan ini adalah bekal bagiku untuk membuktikan pada dunia bahwa aku tak gila sebagaimana mereka sangka. Kesucian ini adalah awal dari segalanya. Awal dari janji yang kutepati. Awal dari harapan yang akan jadi kenyataan. Awal dari gumpalan rindu yang segera mencair. Awal dari perasaan yang akan menemukan muaranya. Ini adalah awal, Bunga. Bila dirimu memahami kesucian bulan ini yang sengaja aku balut dengan serpihan doaku, maka keluarlah dan lihat langit malam ini, bila kau lihat di atas sana bintang-gemintang membentuk namamu, maka yakinlah bahwa mahluk langit merestui kita. Dan bila kau rasakan desiran angin malam menyampaikan salam rinduku, maka yakinlah bila itu restu dari mahluk bumi pada kita.
Bunga, sudah cukup bagiku jatuh cinta. Aku sudah menemukan muara di mana cintaku ini akan bertaut. Aku pun tak bisa lagi merindu, karena rinduku sudah habis untuk kusedikan padamu. Sumber cinta yang kupunya tak akan pernah kering untukmu. Aliran rindu ini tak akan pernah mati sampai kapan pun. Di sinilah aku tegaskan bila tak ada lagi cinta yang kupunya: semuanya sudah kuserahkan padamu. Bunga, apapun yang terjadi, yakinlah bahwa aku selalu di sampingmu. Tak akan pernah sedetik pun aku meninggalkanmu. Aku sadar, bila ternyata aku adalah dirimu dan dirimu adalah diriku.
Sudah berapa lama kita tak berjumpa, Bunga? Tidakkah kau rasakan betapa aku di sini merindukanmu? Aku hanya bisa bertanya pada angin tentang kabar kekasihku di sana. Tak bisa aku menyentuhnya karena jarak memang memisahkan kita. Bunga, meski sudah lama kita tak berjumpa, tapi yakinlah bila hati ini tak akan pernah berpaling. Cinta ini tetap suci seperti dulu. Dan rindu ini tetap aku pelihara apa adanya. Tak ingin aku merubahnya sedikit pun.

Di suatu pagi saat Indonesia merdeka yang ke-56…
Hari ini, kata orang-orang, Indonesiaku merayakan hari kemerdekaan yang ke-65. Bagaimana denganmu di sana? Apakah kau juga merayakannya? Sudahlah, Bunga. Tak usah dirimu merayakan kemerdekaan negeri yang belum merdeka seutuhnya. Negara kita tak punya cinta sebagaimana yang kita punya. Terlalu banyak benci di negeri ini hingga burung pun enggan tuk bernyanyi. Bunga, andai saja di negeri ini tak ada dirimu, entah apa jadinya hidupku. Aku betah tinggal di negeri ini karena dirimu, bukan karena negeri ini gemah ripah loh jinawi. Aku tak percaya semboyan itu, Bunga. Katanya, negeri ini bhineka tunggal ika, tapi kenyataannya, Bunga, memang berbeda-beda tapi tidak satu. Banyak orang ingin menang sendiri, rela memakan hak orang lain, mengatasnamakan agama untuk menyakiti sesama, dan banyak hal lain yang memuakkan. Memang benar, Bunga, di negeri ini memang berbeda-beda, dan mereka bersatu (bersekongkol) untuk memanipulasi dan menyakiti. Bunga, isi kejemuhanku ini dengan senyummu, biar aku tetap bisa tinggal di negeri ini. Sirami hatiku yang gersang ini dengan aliran rindumu biar tetap bertahan di negeri yang memuakkan. Bunga, jangan tinggalkan aku sendiri di sini.  
Bunga, semalam aku mendengar seseorang berkata: "Dunia ini diciptakan dengan cinta, dan ia digerakkan dengan cinta. Segala keteraturan alam diatur oleh cinta, dan setiap gerak gerik manusia didasari oleh cinta. Hanya orang bodoh yang tak menebarkan cinta pada setiap manusia. Karena cinta adalah basis dari pergerakan kita". Bunga, kata-kata orang ini semakin menguatkan aku untuk mencintaimu dengan caraku. Bahkan aku sekarang tambah yakin bila apa yang aku rasakan adalah bagian hukum cinta Tuhan yang diberlakukan pada hamba-Nya. Jika demikian, Bunga, dirimu pun tak perlu ragu lagi untuk meyakini sesuatu seperti yang aku yakini saat ini. Cinta adalah awal, Bunga. Ia menjadi dasar dari apa yang kita lakukan. Bahkan darinya pula kita mendapat kekuatan untuk berbuat dan mengabdi pada Tuhan yang memberi kita cinta. Ungkapan syukur terhadap-Nya bisa kita lakukan dengan memperlakukan cinta yang dianugrahkan pada kita tetap berjalan dalam rel yang dibuat-Nya.
Setelah aku mengikuti pengajian semalam, aku semakin yakin bila apa yang aku yakini harus aku pertahankan. Dan mempertahankan itu adalah janjiku padamu. Tak apa dirimu sekarang jauh, tapi janji akan menjadi syahadat keduaku pada Allah. Bunga, aku mencintaimu karena cinta Tuhan. Aku merindumu karena cinta Tuhan. Semua yang aku lakukan karena cinta Tuhan. Memang sulit berharap dari apa yang belum jelas adanya. Tapi bagiku, Bunga, ketiadaan-Nya adalah bukti cinta yang tiada tara. Dia bukan bersembunyi dari kita. Bukan pula ia lari dari pandangan kita. Dia bersama kita sekarang dan merestui perasaan yang ada pada dirimu dan diriku. Itu adalah janji Dia pada kita, Bunga. Yakinlah akan janji-Nya untuk menjaga apa yang kita yakini ini.
Sebelum syahadat cinta ini aku ucapkan, izinkan aku menanggalkan topeng kesombongan dan kebencianku ini. Aku ingin suci sebelum mengucap syahadat cinta ini, sesuci embun di pagi hari. Bunga, bila diriku sudah kosong, biarkan dirimu mengisi jiwaku. Akan aku jadikan dirimu 'tuhan keduaku' yang aku sembah dengan cinta Tuhan Pertamaku. Memang terdengar gila, tapi itulah kenyataannya. Gila bagi yang tak paham dengan cinta dan tak mengerti bila cinta adalah awal dari segalanya, termasuk mengapa mereka ada. Mereka bukan orang bodoh, tapi hatinya saja yang tertutup oleh kebencian. Kebencian yang mereka dapat dari ketidakmengertian akan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan.  Bunga, kuharap dirimu memahami apa arti pesanku ini. Pesan setia yang kusampaikan melalui panas matahari yang membakar. Meski dagingku nantinya harus meleleh, asal nanti di sana kutemui dirimu, aku rela melakukannya.

Di suatu senja saat menunggu buka puasa…
Entah sudah berapa paragraf kutulis perasaanku. Tapi mengapa aku belum menemukan kepuasan? Kata-kata yang kurangkai ternyata tak mampu mewakili apa yang kurasakan. Tapi aku tak pernah menyerah, Bunga. Kata-kata ini adalah senjataku untuk membunuh kejenuhan di tengah penantian panjang yang kulakukan. Kata-kata ini adalan saksi kesetiaan yang selamanya pasti aku genggam. Bunga, maafkan bila kata-kata yang kurangkai ternyata tak membuatmu bahagia. Maafkan bila kata-kataku tak membuatmu terpana. Aku mulai dulu memang tak bisa merangkai kata-kata puitis. Tapi ini kata-kata hati, Bunga. Kata-kata yang sengaja tulus keluar dari hatiku terdalam. Dan kata-kata ini hanya untukmu. Sekali lagi: hanya untukmu.
Bunga, sekarang negeriku dihuni oleh orang-orang aneh. Mengapa tidak, orang-orang di negeriku sedang keranjingan lagu keong racun. Kamu pernah mendengar lagu itu? Jika belum, lebih baik dirimu tak usah mendengarnya. Entah apa yang ada dalam benak orang-orang di sekitarku. Apa yang mereka nikmati dari lip sing itu. Oh…anehnya negeriku ini. Semakin tak jelas saja alirannya. Bunga, tak usah kau dengarkan lagu-lagu seperti itu. Cukup kau dengar ocehan burung yang menyanyikan dendang rinduku saja. Atau bila dirimu jenuh terhadapnya, cukup mendengarkan desiran angin yang menerbangkan zikir cinta yang kuucapkan. Bila itu belum cukup, mintalah pada Tuhan untuk menurunkan malaikat Jibril. Suruhlah dia membaca ayat-ayat cinta yang kubuat kemaren saat malam lailatul qadr menjelang. Dan bila itu masih belum cukup juga, mintalah Tuhan untuk menyelimuti hatimu dengan sifat cinta-Nya. Bagaimana, Bungaku?

Di suatu malam setelah sholat taraweh…
Bunga, aku dikejutkan oleh gempa yang terjadi beberapa saat setelah aku buka puasa. Gempa yang lumayan mengagetkan dan membuat orang-orang di komplek rumahku berhamburan. Taukah dirimu apa yang aku khawatirkan saat itu? Aku tak takut mati, Bunga. Yang kutakutkan hanyalah bila nanti aku tak bisa lagi menikmati senyummu. Bagiku, gempa sebesar apa pun tak pernah aku khawatirkan. Aku tak panik sebagaimana orang-orang di sekitarku. Aku hanya bergumam dalam hati: "Tuhan, kalau pun malam ini dirimu harus memanggilku melalui gempa kirimanmu, aku rela asalkan perlihatkan padaku sedetik saja senyum Bungaku". Bunga, tak perlu kugambarkan lagi betapa pentingnya dirimu dalam hidupku. Entah apa jadinya diriku tanpa dirimu. Walaupun kita belum bisa bertemu, seperti biasa telah kutitipkan salam rinduku melalui awan di langit sana, kuharap dirimu memahaminya.
Malam sudah larut, Bunga. Kuharap dirimu segera beranjak ke peraduan. Rangkailah mimpimu di alam tidurmu yang indah. Pecayalah bila di sana aku menyelimutimu dengan doaku. Selimut itu akan dipasangkan oleh malaikat utusan Tuhan yang memberiku cinta. Bunga, sebelum dirimu memejamkan mata, berdoalah dulu pada-Nya. Minta pada Dia agar kita dipertemukan di alam mimpi. Di sana kita akan merangkai kehidupan yang sebenarnya. Dunia mimpi adalah dunia yang tak bertepi. Di sana kita tak dibatasi oleh aturan dunia yang memuakkan. Di sana kita bebas layaknya burung. Kita bercumbu di sana dengan cinta di bawah payung cinta Tuhan pertama. Di sana pula aku ucapkan syahadat cinta yang pernah kuucap di sampingmu dulu. Mengertilah itu, Bunga. Selamat tidur, pelita hatiku. Sampai bertemu di dunia mimpi indah. Kita rangkai awal kisah kita di sana, dan kita akhiri kisah itu nanti di surga.

Di suatu pagi yang cerah…
Bagaimana kabarmu pagi ini? Masihkah dirimu merasa gelisah di dunia penantian? Kuharap tidak!. Pagi ini, akan kupersembahkan untukmu sedikit sarapan cinta yang kubungkus dengan rindu yang membara. Kuharap hatimu di sana akan merasa terpuaskan oleh kirimanku ini. Bunga, dalam munajatku semalam, Tuhan menyuruhku untuk tetap mencintamu. Dia memberiku wahyu cinta yang disampaikan melalui Jibril. Dalam munajat itu, kulaporkan pada Tuhan tentang kegalauan hati yang kualami. Kukatakan pada-Nya pula bahwa Bungaku di sana sedang merinduku. Kamu tau apa yang Tuhan katakan padaku? Bunga, Tuhan menyuruh kita untuk tetap saling setia seperti embun yang kuceritakan kemaren waktu, "Hambaku, cintamu adalah cintaku. Rindumu adalah restu dariku. Munajat cintamu adalah alasan penciptaanmu bagiku. Tetaplah teguh dalam cinta dan rindumu. Perkuat itu dengan munajat cinta yang setiap malam dirimu dengungkan. Biarkan mahluk langit tau bila aku menciptakan semua ini dengan cinta". Bunga, itulah apa yang diucapkan Tuhan padaku. Dirimu boleh percaya atau tidak. Tapi begitulah kenyataannya. Jika sudah seperti itu, mengapa harus ragu mempertemukan perasaan kita dalam ruang rindu-Nya?

Di suatu malam yang sunyi…
Malam ini, di tengah kesunyian yang kurasakan, aku bingung harus berbuat apa. Mungkin memang malam ini aku ditakdirkan untuk tak merasakan gemerlap dunia Jogja yang mempesona. Bunga, datanglah padaku malam ini. Bawa rindumu yang dulu kau janjikan padaku. Datanglah dengan senyum terindahmu biar aku tak lagi merasakan kesunyian ini. Obatilah kesunyian yang kurasakan dengan kehadiranmu. Bunga, bila di sana dirimu belum memejamkan mata, coba lihat rembulan di atas sana. Pesonanya menawarkan keindahan dibalik gelap awan yang mengintai. Bila rembulan nanti tiada, aku ingin dirimu yang menggantikannya. Sudikah dirimu menggantikan rembulan itu? Bila iya, akan kuminta Tuhan menghilangkan rembulan itu.
Bunga, aku ingin menemanimu malam ini. Tapi mungkinkah itu? Sedangkan jarak menjadi tembok penghalang yang menjulang tinggi. Aku ingin memanjat tembok itu, tapi bagaimana aku melakukannya, sedangkan kekuatan cintaku sudah mulai melemah diterpa virus kesendirian. Bila Tuhan mengijinkan, aku temanimu malam ini dengan rindu yang menggunung. Kuselimuti dirimu dengan doa yang akan melindungimu hingga besok pagi. Akan kuberikan padamu kehangatan cinta yang akan melindungimu dari kedinginan putus asa. Entah mengapa malam ini aku ingin memujimu. Sampai saat ini, aku belum menemukan pujian yang bisa mewakili keindahanmu. Semuanya buntu, Bunga. Sungguh, aku tak sanggup melakukannya.
Bunga, angin malam ini menawarkan kedinginan yang luar biasa. Dinginnya menembus kulit dan pori-poriku. Hal itu sedikit membuatku terganggu. Apalagi malam ini aku sedang merangkai kata-kata indah yang nantinya kupersembahkan untukmu. Aku menulis kata-kata indah ini di bawah langit. Sambil kupandangi rembulan, kucoba menggoreskan pujian yang kujanjikan. Bila pujian ini selesai, akan kubacakan pujian itu di bawah lindungan Tuhan pencipta malam. Bila Tuhan merestuinya, baru pujian itu kuberikan padamu. Kuberharap Tuhanku menerima dan merestuinya.
Aduh, mengapa rembulan itu tertutup awan? Keindahan malam tak lagi terlihat dengan jelas di atas sana. Itulah rembulan, ia indah bila tak tertutup awan. Tapi bila awan datang, pesonanya hanya tinggal kenangan. Sebab itu aku selalu minta pada Tuhan agar pesona rembulan diganti dengan pesona senyummu. Senyummu tak bisa ditutupi awan, Bunga. Jangankan menutupi pesona senyummu, mendekatimu saja awan tak mampu. Awan lebih memilih menikmati senyummu daripada menutupimu. Ia pun ikut terpesona hingga ia lupa pada tugasnya: menutupi objek di sekitarnya.
Semalem dirimu bilang padaku mau menangis saja malam ini. Saat kutanya mengapa, kau hanya menjawab aku bukan perempuan hebat yang bisa menutupi kesedihannya dengan senyuman. Bunga, tak perlu dirimu jadi perempuan hebat. Jadilah perempuan apa adanya yang membanggakan Tuhan dan alam. Bila tangisanmu bisa membuatmu tenang, menangislah…alam semesta merestuimu. Tapi, Bunga, janganlah dirimu menangis di waktu malam. Jangan kau buat malam yang begitu indah bersedih karena tangisanmu. Alam sudah cukup sedih melihat gumpalan awan hitam, jangan kau tambah kesedihannnya dengan tangisanmu dalam gelap malam. Tetap tersenyum meski dirimu bersedih. Tetap ceria meski tak sedang bahagia. Ingatlah bila senyummu adalah mentari pagiku. Tatapanmu adalah embun hatiku.

Di suatu pagi yang ceria…
Aku bahagia saat mendengarmu kembali tersenyum. Aku dengar kabar itu dari nyanyian burung-burung di atas atap rumahku. Burung-burung menyanyi riang, mereka mengabarkan padaku: "Hai dirimu si pemuja senyuman indah, berbahagialah karena mentari pagimu sekarang tersenyum kembali. Embun hatimu kembali membasahi bumi. Sambut senyum itu dengan dzikir cinta dan rindumu". Bunga, burung-burung pun bahagia melihat senyummu. Apalagi aku? Tak bisa kulukiskan kebahagiaanku saat itu. Senyum indah yang sudah lama tak lagi kulihat, sekarang bisa kunikmati kembali. Keteduhan tatapan yang sudah lama tak lagi kurasa, kini kembali menghujam jiwa. Oh…begitu sempurnya Tuhan pencipta senyummu itu. Apa yang ada dibenaknya saat menciptakanmu. Tak usahlah Dia menciptakan bidadari, cukup kamu saja, Bunga. Bila aku mati, aku tak ingin melihat bidadari, karena kutau, mereka tak seindah dirimu.

Di suatu sore setelah buka puasa…
Untuk kesekian kalinya aku buka puasa sendiri. Menikmati indahnya kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan melalui puasanya. Namun keindahan sejati bagi orang yang berpuasa adalah nanti ketika bertemu dan bermesraan dengan-Nya. Puasa untukku dan aku yang membalasnya, itu kata Tuhan, Bunga. Kebahagiaan buka puasaku semakin lengkap dengan hadirnya senyum yang kau kirimkan melalui suara adzan. Semangat yang sedari siang tadi mengering, kini kembali penuh dan siap mengarungi petualangan cinta yang tak kunjung selesai. Bunga, aku tak akan pernah bosan mengatakan bila aku merindukanmu. Semua yang pernah kukatakan pasti kulakukan. Suatu saat nanti, janji-janti itu pasti kutepati.
Apa yang diberi pagi pada seorang pencari cinta sepertiku? Pagi selalu setia menyapa hari-hari saat aku terbangun dari peraduan. Itu yang kupelajari dari pagi. Aku belajar arti kesetiaan sejati. Setia berarti berbuat apa adanya. Setia berarti siap menderita demi sebuah kebahagiaan. Setia bukan kata-kata, tapi tingkah nyata demi yang dicinta. Itu yang kupelajari dari pagi, Bunga. Dan pelajaran itu akan aku ajarkan pada orang-orang yang tak paham arti kesetiaan yang sebenarnya. Akan kusebarkan pada orang-orang yang tak mengerti cinta dan ketulusan. Itu tekad yang kutanam dalam sanubariku saat ini. Setiaku padamu akan selalu kujaga, akan kupertahankan itu demi cinta yang kupunya.

Di suatu pagi setelah sahur…
Aku tak akan memujimu lewat kata-kata lagi, Bunga. Kata-kataku sudah habis untuk memujimu. Cukup aku memujimu dengan diamku. Tapi jangan lihat diamnya, pahamilah apa yang ada di balik diam itu. Pujian sejati adalah pujian tanpa kata. Pujian yang sebenarnya adalah pujian yang menggunakan bahasa cinta. Bunga, sudah lama aku tak menyapamu. Maafkan aku, bukannya aku lupa padamu. Tapi itulah caraku mencintaimu. Tak ada waktu sedetik pun yang terlewat untuk mengingatmu meski itu dalam diamku. Taukah dirimu bila subuh ini aku memikirkanmu? Aku tak bisa memejamkan mataku karena yang terlihat di benakku hanya bayangmu.
Bunga, pagi ini hujan turun begitu derasnya. Hujan yang begitu lama hingga membuat burung-burung enggan keluar dari peraduannya. Di mana nyanyian burung-burung pagi yang biasa mendendangkan lagu rindu untukku? Oh hujan, berhentilah! Jangan buat pagi ini aku tak mendengar nyanyian burung-burung. Merekalah yang menyampaikan perasaan rinduku pada Bungaku. Bila dirimu masih tetap meneteskan airmu, maka burung-burung itu tak akan bisa menyampaikan salam rinduku.

Di suatu pagi di Madura…
Bunga, rinduku memuncak di Maduraku tercinta. Bercampur dengan iringan doa sang Bunda yang menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Di Maduraku, rindu ini menuntutku menemuimu. Tapi kapan? Di mana? Bukankah kita sudah terpisah oleh tembok jarak yang begitu jauh? Tapi tak apalah, jarak bukan halangan berarti. Biar kutemui dirimu pagi ini lewat salam rinai hujan. Terima salam itu dengan senyum yang sudah lama aku tak menikmatinya. Titipkan pada hujan itu rindumu yang membara, biar di sini aku yang menikmatinya dengan caraku. Biarkan rindu kita bertaut di singgasana Tuhan pencipta cinta. Dan berakhir pula di tempat peraduan kita: surga cinta.

Di suatu pagi pada hari idul fitri…
Bunga, sekarang telah tiba saatnya hari kemenangan. Hari kemenangan bagi orang-orang yang sukses melalui ujian selama sebulan penuh. Hari kemenangan yang hanya akan bermakna bila keadaan kita bisa lebih baik dari sebelumnya. Pagi ini, kumandang takbir membahana di penjuru langit dunia. Menggetarkan Arsy Tuhan pencipta cinta. Ingin rasanya kuukir takbirku di kanvas kesucian hati yang sudah kusiapkan sejak tadi. Takbir yang kuucap sebagai bentuk ketundukanku pada Tuhan. Takbir yang kulantunkan untuk menunjukkan kerendahan dan kehinaanku di hadapan-Nya.
Bunga, di hari kemenangan ini aku ingin menunjukkan kemenangan perjuangan cintaku padamu. Perjuangan yang sudah lama aku lakukan hanya untukmu seorang. Di hari kemenangan ini, tunjukkan pada dunia dan alam semesta bahwa cinta yang kita perjuangkan tidaklah sia-sia. Cinta kita cinta fitri, cinta suci seperti bayi. Mari kita kumandangkan takbir cinta kita. Biarkan Tuhan mendengarnya. Jadikan singgasana-Nya bergetar mendengar takbir cinta kita. Kemenangan cinta yang sudah di depan kita, harus kita jadikan sebagai momentum perubahan, Bunga. Perubahan kedewasaan dalam menghadapi problematika hidup. Aku yakin dengan kefitrahan cinta kita, apapun yang terjadi kita akan tetap menepati janji: selalu bersama selamanya.
Di suatu sore di Madura tercinta…
Bunga, sore ini hujan mengguyur dengan derasnya. Membasahi halaman rumah mungilku. Dari beranda rumahku, kupandangi tetes demi tetes hujan yang jatuh. Kupahami tetesan itu sebagai dzikir cinta dari alam untuk manusia. Hujan memang menyejukkan, tapi bila hujan tak dicintai sebagaimana mestinya, ia mengamuk dengan kerasnya bahkan ia bisa menenggelamkan kita. Cinta kita seperti hujan, Bunga. Bila kita tak mempelakukan cinta kita apa adanya, ia akan menyiksa kita dengan penderitaan.

Di suatu pagi saat dirimu ngambek dan marah padaku…
Sudah beberapa hari ini kamu marah padaku. Entah mengapa aku pun tak tau. Bunga, bila memang dirimu sudah tak menginginkanku lagi, hanyutkanlah cintamu pada hujan. Biarkan tanah yang basah itu menyerap cintamu padaku. Bila nanti dirimu menginginkannya lagi, mintalah pada tanah itu agar mengeluarkannya. Taukah dirimu betapa diriku merana saat kau memilih untuk tak bertegur sapa. Kau marah padaku hingga tak mau membalas pesan singkatku. Bila itu memang pilihanmu aku tak bisa bilang apa-apa lagi. Sungguh, aku tak tau bagaimana meluluhkan hatimu lagi. Tapi yakinlah meski demikian, sampai detik ini cintaku tetap untukmu. Janji cinta yang aku ucapkan dulu akan tetap aku tepati.

Di suatu pagi saat tiba di Jogja kembali…
Aku sudah tiba di Jogjaku lagi, Bunga. Sekarang jarak yang memisahkan kita semakin jauh. Aku tak tau apakah aku masih bisa mendengar suaramu lagi. Dan angin pun seakan-akan tak mau lagi menyampaikan salam rinduku padamu. Mungkin inilah ujian cinta yang dijanjikan itu. Jika ini memang ujian, aku tegaskan pagi ini bila aku akan tabah menghadapinya. Aku akan tetap memperjuangkan apa yang aku yakini, yakni mencintaimu setulus hati. Tak peduli apakah dirimu tak mau bertegur sapa lagi, yang lebih penting bagiku adalah mengembalikan kefitrahan cinta yang sudah kita dapatkan di hari kemenangan.
Bunga, lupakah dirimu saat hari lebaran itu? Bukankah di hari kemenangan cinta yang kita proklamirkan itu dirimu telah mematri diriku dalam sanubarimu? Ingat itu, Bunga!. Sampai kapanpun itu pasti tetap ada. Karena kemenangan cinta kita disaksikan oleh Tuhan dan alam, bukan manusia apalagi setan. Ingat itu agar dirimu tak mudah kecewa dan marah padaku. Pagi ini Jogjaku memang mendung, semendung hatiku pagi ini: menanti salam rindu yang biasa kau kirimkan pada awan.

Di suatu pagi pada bulan November…
          Aku bahagia lagi karena pagi ini aku bisa kembali menikmati senyummu. Ternyata butuh waktu lama untuk kembali meluluhkan hatimu. Aku berjanji untuk menjaga hati ini. Tak akan kubiarkan setitikpun kesalahan itu kuulangi. Aku berjanji padamu. Janji yang kuucapkan di bawah malaikat yang dulu menjadi saksi janji kita. Aku harap kebahagiaan ini akan selalu terjaga, Bunga.
Terimakasih, Bungaku. Kau mengijinkan hatiku kembali memujimu. Terimakasih karena kau telah membuka kembali hatimu untukku. Aku tak bisa melukiskan kebahagiaanku hari ini. Aku bahagia karena ternyata burung-burung sudah kembali bernyanyi untuk kita

1 komentar:

  1. [Pornhub] Vimeo « youtube-vg-videos - Vimeo
    Vimeo Videos, featuring video from the 90s, feature youtube mp3 videos from the 90s, and include short videos on YouTube.

    BalasHapus