Senin, 01 Agustus 2011

Kendi Kyai Ali


Tak ada satu pun di dunia ini yang tau ada apa di dalam kendi Kyai Ali. Konon, setiap orang yang minum air dari kendi itu semua keinginannya akan terkabul. Bahkan kata orang-orang, air di kendi itu bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Banyak orang yang sudah membuktikannya. Termasuk ayahku tentunya. Kyai Ali memang orang terpandang di desa Jatisari tempatku tinggal. Beliau adalah tokoh agama yang menjadi rujukan setiap orang. Bahkan, banyak pejabat kota yang sowan pada beliau. Entah apa tujuan mereka, yang jelas kata Kang Nur, banyak pejabat yang datang ke Kyai Ali hanya untuk minum air kendinya.
Desas-desus bila kendi Kyai Ali bukan kendi biasa semakin ramai saja dibicarakan. Dari warung Mbak Rum tema kendi Kyai Ali menjadi tema utama pembicaraan masyarakat. "Isu kendi Kyai Ali telah mengalahkan isu korupsi yang lagi marak di televisi," ujar Cak Imin sahabat karibku. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Cak Imin. Memang benar kata Cak Imin. Isu kendi Kyai Ali sudah merebak ke mana-mana. Tak hanya di warung Mbak Rum, di sawah-sawah pun kendi Kyai Ali tetap menjadi obrolan.
Bila tiba waktunya nanti aku harus tau apa sebenarnya isi kendi Kyai Ali. Aku penasaran dengan isinya. Kata Kang Nur, salah satu pembantu beliau, kendi itu bukan kendi sembarangan. Kendi itu Kyai Ali dapatkan saat beliau bersemedi di makam keramat di puncak gunung. Setengah tak percaya dengan pernyataan Kang Nur, aku bertekad untuk mencari tau isi dari kendi keramat itu. Sore ini aku sudah berjanji pada ayah untuk sowan ke dalem Kyai Ali. Kebetulan, ini bisa menjadi kesempatan bagiku untuk mencari tau langsung pada beliau. Itu pun bila aku berani. Karena katanya, di depan Kyai Ali tak ada satu pun yang berani menatap matanya, apalagi bila harus bertanya sesuatu tentang beliau, terlebih kendinya.
*****
Sudah hampir sepuluh menit aku menunggu Cak Imin di beranda rumah. Tapi dia belum juga nongol. Sore ini, aku meminta Cak Imin menemaniku sowan ke Kyai Ali. Ayah yakin bila hanya air kendi Kyai Ali saja yang mampu menyembuhkan penyakitnya.
"Le, nanti salamkan pada beliau bila air yang kemaren sudah habis," ucap ayahku.
"Nggeh, Pak.".
"Oya, Le. Kasihkan ini juga buat beliau," ujar ayah sambil menyerahkan amplop yang di dalamnya berisi uang. Aku mengambil amplop itu dan kumasukkan ke dalam saku. Sambil menunggu Cak Imin datang, kusulut sebatang rokok kretek yang sedari tadi tergeletak di meja tamu. Teh manis sisa tadi pagi cukup untuk membasahi tenggorokanku. Tak berselang lama akhirnya Cak Imin nongol juga.
"Maaf, Rid. Aku terlambat. Baru bangun soalnya."
"Nggak apa-apa, Cak. Yang penting sampean datang."
"Berangkat sekarang, Rid?."
"Iya, Kang. Kalau terlalu sore nanti Kyai Ali banyak tamunya. Ntar kita nggak enak ngobrol sama beliau."
"Ayo!."
Kumatikan rokokku yang tinggal separuh. Aku dan Cak Imin berjalan melewati pematang sawah menuju dalem Kyai Ali yang terletak di ujung desa sana. Kurang lebih lima belas menit kami pun sampai di dalem Kyai yang lumayan megah untuk ukuran rumah di desa Jatisari. "Ini pasti hasil dari kendi itu," gumamku. Di depan rumah ber at coklat itu terhampar rerumputan. Tepat di depan beranda, ada sangkar burung besar. Setelah kudekati, ternyata di dalamnya ada burung hantu. Burung ini semakin menambah suasana magis dalem Kyai.
"Assalamualaikum....," ucapku sambil mengetok pintu dalem Kyai yang terbuat dari pohon jati ukiran Jepara.
"Waalaikumsalam. Kamu, Rid," ternyata Kang Nur yang membuka pintu.
"Banyak tamu, Kang?," tanyaku.
"Nggak ada. Masuk saja!," jawab Kang Nur sambil mempersilahkanku masuk. Kuajak Cak Imin ikut ke dalam. Setelah mempersilahkan kami duduk, Kang Nur masuk ke belakang. Kulihat mata Cak Imin memperhatikan tiap detail isi dalem Kyai Ali. Mungkin dia takjub dengan kemegahannya. Kursi yang kami duduki terasa empuk sekali, berbeda dengan kursi di ruang tamu rumahku yang busanya sudah banyak yang hilang. Ini baru pertama kalinya aku dan Cak Imin masuk ke dalem Kyai terkaya di desaku itu. Dulu, aku memang sering ke sini. Tapi belum pernah sekalipun aku masuk dan melihat isi rumah beliau.
"Enak ya jadi Kyai," ucap Cak Imin mengawali pembicaraan.
"Kok bisa, Cak?."
"Gimana nggak enak, lha wong tiap hari banyak tamu. Udah dihormati, cepet kaya lagi!. Pantesan aja rumahnya gede kayak gini."
Aku hanya tertawa kecil mendengar ucapan Cak Imin. Memang benar, bila dilihat dari luar saja, menjadi Kyai memang bisa dikatakan enak. Dan apa yang dikatakan Cak Imin ada benarnya juga, selain dihormati sama orang-orang, biasanya Kyai lebih mudah kaya. Kyai Ali contohnya. Namun ternyata menjadi Kyai tak semudah dan seenak yang dibayangkan. Kyai yang benar-benar Kyai mempunyai tanggungjawab besar mengawal umatnya ke jalan yang benar. Ini-lah tanggungjawab yang mesti dipikul oleh seseorang yang menganggap dirinya sebagai Kyai. Tak semua orang yang mendapat julukan Kyai adalah seseorang yang benar-benar Kyai. Banyak sekali orang-orang yang hanya bermodal sorban dan peci putih ditambah dengan sedikit hafalan ayat al-Qur'an dan hadis sudah dikatakan Kyai. Namun di balik sorban dan pecinya lebih dominan keinginan dunia: untuk dipuja dan bergelimang harta. Orang seperti itu bukan Kyai. Lalu bagaimana dengan Kyai Ali?
"Apa keperluan kalian ke sini?,"tanya seseorang dari belakang. Setelah kami noleh, ternyata suara itu adalah suara Kyai Ali.
Aku dan Cak Imin terkejut. Mata kami yang mulai tadi nolah-noleh ke mana-mana kini tertunduk.
"Anu Kyai. Saya Farid, anaknya Parjo," jawabku.
"Hmmm...Parjo yang sakit kanker itu?," tanya Kyai Ali lagi.
"Nggeh.". Sambil mengangguk-ngangguk Kyai Ali kembali masuk ke belakang. Selang beberapa menit kemudian beliau keluar lagi. Di tangan kanannya ada kendi berukuran sedang. "Apa ini kendi sakti itu?," tanyaku dalam hati. Sejenak, kendi itu biasa saja. Sama seperti kendi yang ada di warung Mbak Rum. Apa istimewanya kendi itu? Hingga banyak orang-orang dan pejabat yang percaya dengan kesaktiannya. Rasa penasaran ini semakin memuncak saja. Tak sabar rasanya aku ingin bertanya pada beliau. Tapi, apakah aku berani melakukannya? Apalagi bertanya, menatap saja aku tak mampu!.
Kendi itu beliau taruh di atas meja. Setelah itu, beliau ke belakang lagi. Seakan mengambil kesempatan, aku dan Cak Imin memandangi kendi itu. Kami perhatikan kendi itu dengan seksama. Benar, kelihatannya tak ada yang istimewa darinya.
"Kendinya biasa saja ya, Rid," ucap Cak Imin padaku.
"Ya, Cak. Biasa saja. Tak ada yang istimewa darinya."
"Tapi kok orang banyak yang percaya dengan khasiatnya?."
"Aku juga nggak tau, Cak. Mungkin kendi ini memang benar-benar sakti."
Obrolan kami terhenti saat Kyai Ali datang kembali. Beliau duduk di kursi pas depan kendi yang beliau bawa. Ternyata beliau membawa botol kosong air mineral. Beliau mengambil kendi itu. Botol kosong tadi beliau isi dengan air kendinya. Hanya separuh botol yang beliau isi.
"Kasihkan ini sama ayahmu," ujar Kyai Ali sambil meyerahkan botol itu padaku. Aku mengulurkan tanganku dan mengambil botol itu. Aku masih belum berani menatapnya. Begitu juga Cak Imin.
"Sampaikan juga pada ayahmu, jangan lupa baca doa yang kemarin aku berikan," tambahnya lagi.
"Nggeh, Kyai."
Selang beberapa saat, Kyai Ali masuk ke kamarnya. Sementara aku dan Cak Imin tetap di ruang tamu. Kendi itu masih ada di depan kami. Ingin rasanya aku memegangnya. Siapa tau di dalam kendi itu memang ada penunggu sebagaimana yang dibicarakan banyak orang. Tapi aku belum berani. Perasaan takut dan penasaran bercampur jadi satu. Tak bisa memegang kendi, aku membuka botol yang tadi Kyai berikan. Kucium bau airnya. Ternyata sama saja dengan air di rumahku. Tak ada bedanya.
"Bagaimana, Rid. Kamu jadi bertanya pada beliau?," tanya Cak Imin padaku.
"Nggak tau, Cak. Sepertinya aku nggak berani."
"Loh, kenapa? Bukannya tadi katanya kamu mau bertanya pada beliau?."
"Ya itu, Cak. Sekarang aku malah jadi takut."
"Takut apa?."
"Nggak tau takut apa. Sepertinya aku tak berani mengutarakan rasa penasaranku."
Kyai Ali keluar lagi. Beliau kembali duduk di kursi yang tadi. Di tangan kanannya ada tasbih berwarna coklat. Sambil membaca dzikir beliau memutar-mutar tasbih itu. Selang beberapa menit kemudian, Kang Nur datang membawa dua gelas teh. Kyai Ali mempersilahkan kami minum teh itu. Aku dan Cak Imin minum teh yang Kang Nur bawa. Baru satu teguk kami meminumnya, tiba-tiba Kyai Ali bertanya pada kami.
"Sepertinya ada yang ingin kalian utarakan. Bicaralah, jangan sungkan-sungkan."
Aku dan Cak Imin hanya saling pandang. Cak Imin mencolek pahaku memberi isyarat agar aku segera mengutarakan pertanyaanku.
"Nuwunsewu, Kyai. Apa benar kendi ini sakti,?" tanyaku polos. Aku takut Kyai Ali marah dengan pertanyaanku. Setelah bertanya seperti itu, aku kembali menundukkan kepalaku. Namun ternyata Kyai Ali tak marah. Malah kulihat beliau tersenyum.
"Kata siapa kendi ini sakti?," tanya Kyai Ali.
"Kata orang-orang," jawabku pelan.
"Ah...orang-orang. Orang-orang di negeri ini memang banyak yang aneh. Mereka begitu gampang percaya pada hal-hal seperti itu. Baru melihat batu Ponari saja mereka sudah percaya bila batu yang menyembuhkan. Padahal, yang menyembuhkan sebenarnya Gusti Allah. Sementara batu Ponari dan kendiku hanyalah perantara saja. Tidak lebih.," jelas Kyai Ali panjang lebar. Sementara Cak Imin hanya melongo mendengar jawaban beliau.
"Lalu bagaimana dengan pejabat yang sering sowan ke sini, Kyai?," tanyaku lagi.
"Oh...pejabat-pejabat itu maksudmu.". Aku menganggukkan kepalaku.
"Mereka datang untuk mengaji. Meski pejabat, mereka juga butuh siraman rohani. Di tengah aktivitas yang menjenuhkan, mereka butuh motivasi untuk tetap menjadi pelayan bagi masyarakat. Kedatangan mereka ke rumahku sama sekali tak ada hubungannya dengan kendi yang kau tanyakan tadi," ucap Kyai Ali.
Aku dan Cak Imin menganggukkan kepala. Itu menjadi tanda bila kami paham dengan apa yang Kyai Ali sampaikan. Cak Imin mencolek pahaku lagi. Dia memberi isyarat agar aku segera pamit karena mahgrib sudah semakin mendekat.
"Kami pamit dulu, Kyai," ucapku sambil menyerahkan amplop yang tadi ayah titipkan buat beliau. Tapi beliau menolak amplop yang kuberikan dan memasukkan amplop itu ke sakuku lagi.
"Bawa saja kembali. Aku tak membutuhkan itu.". Setelah bersalaman dengan beliau kami pun pulang. Rasa penasaran yang mulai kemaren menggerogoti pikiran kini sudah terpecahkan. Dan ternyata kendi itu tak sesakti yang orang-orang bicarakan. Kendi itu hanya kendi biasa yang tak jauh beda dengan kendi di warung Mbak Rum. Ternyata kendi itu hanya kendi biasa yang tak mempunyai kekuatan apa-apa. Selama ini obrolan orang-orang memang terlalu berlebihan. Kendi biasa seperti itu dianggap bisa menyembuhkan segala penyakit. Seharusnya hati mereka yang perlu disembuhkan. Disembuhkan dari kepercayaan-kepercayaan tanpa alasan yang menyesatkan.
*******
Pas adzan maghrib berkumandang aku dan Cak Imin sampai rumah. Kupersilahkan Cak Imin duduk di ruang tamu. Sementara aku ke belakang menemui bapak di kamarnya. "Pak, ini airnya," ucapku sambil menyerahkan padanya botol yang berisi air kendi Kyai Ali. "Ini juga amplopnya, Kyai tak mau menerimanya. Katanya beliau tak membutuhkan itu. Uang ini kata beliau suruh buat keperluan keluarga kita,...oya, Pak. Kata beliau juga, jangan lupa doa yang kemaren tetap dibaca," tambahku. Bapak menerima amplop yang kusodorkan. Kemudian dia duduk di ranjang tua yang sudah puluhan tahun menemaninya.
"Ternyata Kyai tetap kayak dulu. Beliau tak pernah mau diberi uang sebagai ucapan terimakasih," ujar bapakku datar.
"Mana si Imin?," tanya bapakku.
"Ada di depan, Pak."
"Sholat dulu, setelah itu ajak si Imin makan bareng. Tuh, ibumu sudah menyiapkannya," suruh bapakku pelan.
Aku meninggalkan kamar bapakku menuju ruang tamu depan. Kuajak Cak Imin sholat maghrib bersama di langgar samping rumah. Setelah sholat, kami pun makan malam dengan menu sederhana ala masyarakat desa. Cak Imin dan aku sudah ibarat saudara. Kemana pun kami selalu berdua. Saking akrabnya, aku sudah biasa makan dan tidur di rumah Cak Imin. Begitu pun sebaliknya.
 Waktu terus berputar. Nyanyian jangkrik di sawah belakang rumah menandakan bila malam sudah semakin larut. Saatnya orang-orang beranjak ke peraduan untuk melayang ke alam mimpi yang tak bertepi. Malam ini, Cak Imin menginap di rumahku. Setelah menutup pintu rumah, aku dan Cak Imin pergi ke langgar. Aku dan Cak Imin memang biasa tidur di sana. Karena hanya di langgar-lah, kami bisa bangun saat adzan subuh berkumandang. Setelah menghabiskan sisa rokok yang tadi kusulut, aku merebahkan tubuhku. Sementara kulihat Cak Imin sudah tidur dengan pulasnya. Kupandangi langit-langit atap langgar yang terbuat dari genteng tua. Aku menerawang entah ke mana. Mencoba mengajak pikiranku berimajinasi membayangkan kendi biasa yang sudah kadung  dianggap orang luar biasa. Hingga akhirnya aku pun terlelap juga dalam irama nyanyian jangkrik samping rumah. Perlahan mataku terpejam mengikuti irama nyanyian jangkrik yang memaksaku segera beranjak ke peraduan. Menyusul Cak Imin dan orang-orang sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar