Senin, 01 Agustus 2011

Mengenal Kaidah Ushul Fiqih Alternatif


Secara normatif, ushul fiqih sering diartikan sebagai  ilmu tentang kaidah-kaidah yang bisa digunakan untuk istinbath hukum (baca: fiqih). Karena fungsinya itulah, ushul fiqih menempati posisi yang “terhormat” dalam disiplin ilmu keislaman. Imam Syafi’i dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan kaidah-kaidah ushul fiqih tersebut dalam karya monumentalnya, ar-Risalah. Sebagai peletak dasar epistemologi ushul fiqih, Imam Syafi’i membuat patokan kaidah-kaidah, utamanya yang berhubungan dengan kaidah lughowiyah (kebahasaan). Kemudian kaidah-kaidah tersebut disempurnakan oleh generasi-generasi setelah beliau hingga akhirnya terbentuklah kaidah-kaidah ushul fiqih yang kemudian terkodifikasi secara sistematis. Keberadaan kaidah-kaidah ini sangat membantu dalam proses istinbath hukum. Hal ini bisa dilihat dari produktifitas ulama fiqih saat itu yang mampu menghasilkan karya-karya hebat. Bahkan sampai sekarang karya-karya mereka dijadikan rujukan dalam hukum Islam.
Keberadaan kaidah ushul fiqih klasik yang sudah ada oleh banyak kalangan dianggap sudah mapan dan tanpa cacat sedikitpun. Namun asumsi ini sedikit “diganggu” oleh munculnya beberapa kaidah ushul fiqih baru yang ditawarkan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Kaidah-kaidah baru ini mereka sebut dengan kaidah ushul fiqih alternatif. Dalam persepsi mereka (baca: JIL), kaidah-kaidah ushul fiqih klasik tidaklah semapan sebagaimana yang diyakini banyak kalangan. Mereka menganggap bahwa sebagian kaidah-kaidah ushul fiqih klasik sudah tidak relevan lagi karena menurut mereka kaidah-kaidah tersebut mempunyai cacat epistemologis. Untuk itulah, menurut asumsi JIL perlu diadakan “penyegaran” kaidah-kaidah ushul fiqih yang lebih relevan dan universal. Tujuan utama dari penyegaran kaidah-kaidah ini tidak lain hanya untuk “mempermudah” dan membebaskan para ahli hukum Islam dari kerangkeng paradigma lama yang tertutup. Kaidah-kaidah ushul fiqih alternatif ini ingin membebaskan para ahli hukum dari ketergantungan terhadap nash. Menurut asumsi mereka, nash al-Qur’an dan hadis Nabi dalam kaidah klasik selalu ditempatkan dalam posisi pertama. Padahal menurut mereka, seharusnya secara hierarkis, maqashid as-Syariah lah yang pantas berada pada posisi puncak, baru kemudian menyusul al-Qur’an dan hadis Nabi. Pendapat ini sangat bertentangan sekali dengan pemahaman mayoritas ulama yang menganggap bahwa al-Qur’an dan hadis adalah sumber primer, bukan maqashid as-Syari’ah sebagaimana pemahaman JIL di atas. Untuk itulah tulisan ini mencoba untuk memperkenalkan kaidah-kaidah ushul fiqih alternatif tersebut.
1.       Al-Ibrah bil Maqashid la bil al-Fadz
Secara tekstual arti kaidah ini adalah: “Yang menjadi pertimbangan utama dalam istinbath hukum adalah tujuan esensial dari teks, bukan teks itu sendiri”. Dengan kaidah ini, bunyi harfiah teks al-Qur’an dan hadis Nabi tidak mendapat porsi apa-apa melainkan hanya sebagai pelengkap saja dari proses istinbath. Sedangkan yang mendapat porsi utama adalah tujuan esensial dari teks. Tujuan esensial dari sebuah teks bisa didapatkan tidak hanya dengan mengkaji sebab mengapa teks itu turun, akan tetapi juga harus mempertimbangkan proses dialektika antara teks dan realitas. Jika ada pertentangan antara bunyi harfiah teks dan realitas, maka yang diunggulkan adalah tujuan esensial yang kemudian dipadukan dengan realitas yang terjadi.
Kaidah ini merupakan kebalikan dari kaidah klasik yang berbunyi: “Al-Ibrah bi Umumil Lafdzi la bi Khususis Sabab”. Dalam kaidah ini realitas yang berbeda “dipaksa” tunduk pada bunyi harfiah teks, dan problematika yang terjadi diberbagai tempat bisa diselesaikan dengan menggunakan bunyi lafadznya. Secara tidak langsung kaidah ini mencoba mengsubordinatkan setiap realitas pada teks, sehingga apapun yang terjdi, teks akan menjadi rujukan utama. Padahal yang namanya realitas pasti berkembang, sedangkan teks sudah pasti tidak berkembang (an-Nushus Mutanahiyah wal-Waqoi’ Ghoiru Mutanahiyah). Karena saking “gandrungnya” para ulama pada teks, maka tidak heran apabila Nasr Hamid Abu Zayd menganggap bahwa peradaban Islam adalah peradaban Teks.
Tujuan kaidah altenatif yang pertama ini adalah untuk membebaskan proses ijtihad dari hegemoni teks. Karena menurut anggapan JIL, teks sudah tampil sedemikian menakutkan karena terlalu dianggap sakral dan tak tersentuh. Dan ajakan membebaskan diri dari kungkungan teks bukan berarti mengabaikan teks itu sendiri, karena tujuan esensial dari teks tidak akan didapatkan tanpa memperhatikan bunyi teksnya. Namun sekali lagi yang menjadi pertimbangan utama menurut mereka adalah tujuan esensialnya, bukan bunyi harfiahnya.
2.       Naskhun Nushus bil-Maslahah Yajuzu
Dalam ilmu ushul fiqih klasik, Nasakh hanya bisa terjadi apabila nasikh-nya setara atau lebih kuat daripada mansukh-nya. Sehingga yang diperbolehkan menurut mereka adalah nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadis dengan hadis, atau hadis dengan al-Qur’an. Sedangkan nasahk al-Qur’an dengan hadis ulama masih berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak. Untuk nasakh al-Qur’an dan hadis dengan ijma’ atau qiyas, ulama sepakat bahwa hal tersebut tidak boleh. Demikian pula nasahk al-Qur’an dan hadis menggunakan maslahah sebagaimana kaidah di atas.
Namun kemapanan teori tersebut “digoyang” oleh kaidah alternatif yang kedua. Dalam kaidah alternatif ini, maslahah mempunyai kekuatan untuk menasakh nash al-Qur’an maupun hadis. Sekilas kaidah ini sangat berani sekali karena menempatkan maslahah pada posisi puncak, bahkan ia bisa menasakh ketentuan yang ada dalam kedua sumber primer tersebut. Sejak dahulu, perbincangan seputar maslahah memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Para ahli hukum Islam memang berbeda pendapat tentang batasan kemaslahatan. Tokoh paling kontroversial yang membahas tema maslahah adalah Najmudin at-Thufi. Ia berpendapat bahwa maslahah tidak akan pernah bertentangan dengan wahyu, karena wahyu itu sendiri diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Pemikiran at-Thufi yang berani ini kemudian diadopsi dalam kaidah ini. Menurut kaidah ini, manusia dengan akalnya bisa menentukan kemaslahatan untuk diri dan lingkungannya. Karena dengan akalnya, Allah telah memberi kemampuan fundamental untuk mendeteksi kemaslahatan yang mungkin saja berbeda dengan bunyi nash. Jika bunyi nash tidak menimbulkan kemaslahatan bagi masyarakat, maka sesuatu yang dianggap mempunyai kemaslahatan –meskipun berbeda dengan nash- bisa mengganti/menghapus ketentuan yang ada dalam nash tersebut.
3.       Tanqihun Nushus bi Aqlil Mujtama’ Yajuzu
Makna tekstual kaidah ini adalah dibolehkannya mengamandemen ketentuan nash dengan akal publik. Dalam kaidah ini akal publik dianggap mempunyai kekuatan untuk “melenceng” dari ketentuan yang sudah ada. Akal publik dianggap mempunyai kekuatan karena hal itu merupakan kesepakatan bersama. Dan kesepakatan bersama pasti dilandasi dengan memperhatikan aspek kemaslahatan yang lebih besar. Jika kita kaji lebih dalam, yang menjadi pertimbangan utama dari ketiga kaidah ini adalah ada tidaknya kemaslahatan. Kemaslahatan dalam tiga kaidah ini menempati posisi yang terhormat karena ia adalah inti dari syari’at. Tidak ada satu pun syari’at Allah yang tidak mengandung kemaslahatan. Oleh sebab itulah menurut mereka ketentuan apapun baik yang mengatur hubungan vertikal ataupun horizontal harus selalu mengandung kemaslahatan. Dan puncaknya bila ada pertentangan antara nash dan kemaslahatan, maka tidak perlu ragu untuk memenangkan kemaslahatan.
Perlu dipahami bahwa ketiga kaidah ini adalah kaidah alternatif. Kita bisa saja menerima ataupun menolaknya. Namun paling tidak, kita bisa memberikan apresiasi atas keberanian mereka membongkar kemapanan paradigma lama yang selama ini menguasai. Usaha berani mereka adalah salah satu upaya mengembalikan kedinamisan hukum Islam yang sekarang sedang mengalami kestatisan. Kaidah alternatif berarti kaidah yang kapan saja bisa kita gunakan. Kita tidak boleh menyalahkan kaidah-kaidah berani ini. Karena kaidah-kaidah ini adalah hasil kreatifitas ilmiah orang-orang yang gelisah melihat kemunduran pemikiran Islam. Selamat mengenal kaidah alternatif, jika cocok dengan anda, jangan ragu untuk menggunakannya, begitupun sebaliknya!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar