Senin, 01 Agustus 2011

Membangun Akidah Berbasis (kesadaran) Antikorupsi


Salah satu problem bangsa yang sampai saat ini belum menemukan formula bagus dalam penyelesaiannya adalah korupsi. Kata "korupsi" berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Arti-arti negatif dari kata korupsi cukup untuk meyakinkan kita bila korupsi merupakan penyakit yang sangat membahayakan. Korupsi di negeri ini ibarat virus mematikan yang sudah menyebar ke seluruh elemen yang ada, khususnya institusi penegak hukum yang notabenenya adalah penjaga Indonesia sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai panglima. Ironis memang, tapi begitu-lah kenyataannya. Mungkin terlalu kasar bila menyebut korupsi sebagai budaya, tapi mau gimana lagi, bila realitasnya korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini, paling tidak bagi pejabat-pejabat publik nakal yang tak bertanggungjawab. Aneh dan mengecewakan tentunya. Aneh karena hampir semua pelaku korupsi di negeri ini adalah orang yang beragama. Ke mana nilai-nilai agama yang mengajarkan kejujuran dalam segala hal? Apakah nilai-nilai itu telah digadaikan demi satu kepentingan: memperkaya diri tanpa memikirkan orang lain. Mengecewakan karena hukum di negeri seakan-akan tak berdaya menghadapi manuver koruptor yang merajalela.  Hukum tak bisa melahirkan efek jera, karena kenyataannya hukum di negeri hanya tajam pada masyarakat kecil, dan seketika menjadi tumpul ketika dihadapkan pada masyarakat kelas atas (pejabat).
Parahnya, sampai saat ini Indonesia masih menjadi "juara" negara paling korup di Asia Pasifik. Hasil terbaru survey yang dilakukan sebuah perusahaan konsultan "Political and Economic Risk Consultancy" (PERC) yang berbasis di Hongkong menunjukkan bila Indonesia termasuk negara paling korup  dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi pelaku bisnis. Hasil survey ini menjadi bukti bila korupsi sudah membudaya dalam institusi pemerintahan kita, terlebih di institusi pelayanan publik. Wajar kiranya bila saat ini masyarakat sudah tak lagi percaya pada institusi pemerintah termasuk institusi penegak hukumnya. Krisis kepercayaan ini adalah akibat dari perilaku penegak hukum sendiri yang sangat mengecewakan. Institusi Kepolisian dan Kejaksaan adalah dua institusi penegak hukum yang paling banyak mendapat sorotan. Terlebih karena banyak anggapan bila dua institusi tersebut merupakan lumbung praktek korupsi di negeri ini. Menurut survey terbaru Lembaga Survey Indonesia (LSI), kepercayaan publik terhadap dua institusi Kepolisian dan Kejaksaan menurun drastis. Publik lebih percaya pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) daripada dua institusi hukum lainnya, Kepolisian dan Kejaksaan.
Fenomena ini menunjukkan bila sampai saat ini supremasi hukum di Indonesia belum berjalan maksimal. Supremasi hukum yang merupakan cerminan dari negara hukum (rechtstaat) hanya dijadikan jargon pencitraan penguasa semata. Sementara kenyataannya, supremasi hukum tak pernah hadir dalam dunia sebenarnya. Untuk masalah korupsi misalnya, SBY pernah menyatakan bila dia dan pemerintahannya akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Namun sudah hampir dua periode kepemimpinannya, masyarakat belum melihat keberhasilan yang sifnifikan dari pernyataannya itu. Bahkan dalam kasus terbaru Gayus Tambunan misalnya, SBY dinilai membuat blunder dengan tetap memasrahkan perkara tersebut pada Kepolisian yang jelas-jelas sudah tak lagi dipercayai publik. Indikator lain kegagalan pemerintah dalam pemberantasan korupsi adalah stagnannya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita. Dalam rilis terbaru Transparency International Indonesia (TII) Indonesia bertahan  di skor 2,8 berada di posisi 110 dari 178 negara sama dengan posisi Indonesia di tahun 2009. Dengan data ini bisa disimpulkan bila selama setahun pemerintah belum berbuat apa-apa dalam pemberantasan korupsi.
Mengapa korupsi begitu sulit dilenyapkan dari negeri ini? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena secara kasat mata seharusnya Indonesia mampu menghilangkan korupsi hingga ke akar-akarnya. Bagaimana tidak, secara yuridis-formal, Indonesia sudah mempunyai Undang-undang No. 31 Tahun 2009 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yang mengatur secara khusus masalah tindak pidana korupsi. Dalam menjalankan Undang-undang itu negeri ini sudah mempunyai penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Ditambah lembaga Ad Hoc Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mesti diakui bila hasil kinerjanya lebih terlihat ketimbang Kepolisian dan Kejaksaan. Bila dilihat dari perangkat yang ada, semestinya memberantas korupsi bukanlah perkara sulit. Namun kemudian menjadi sulit tatkala pelaksanaannya hanya setengah hati dan tebang pilih. Memberantas korupsi tak cukup hanya dengan landasan yuridis-formal an sich, perlu perangkat lain untuk memperkuat aspek yuridis-formal itu. Dan agama bisa menjadi perangkat yang sifnifikan melalui sistem akidah (keyakinan) yang ada dalam setiap jantung agama-agama di negeri ini.
Mengapa agama? Sebagai negara yang berketuhanan, tentunya Indonesia mengakui agama sebagai salah institusi proses keberagamaan. Karena hampir semua pelaku korupsi di negeri ini adalah orang yang beragama, maka menjadi perlu kiranya bila agama juga diikutsertakan dalam upaya pemberantasan korupsi. Agama melalui sistem akidahnya bisa menjadi mitra bagi aspek yuridis-formal. Tulisan singkat ini mencoba -tentunya dengan keterbatasan penulis- menawarkan agama dengan sistem akidahnya sebagai salah satu instrumen penting dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.
Agama; Dari Akidah Teosentris ke Akidah Antroposentris
          Di agama apa pun, akidah merupakan tata sistem kepercayaan yang melandasi setiap perbuatan pemeluknya. Akidah adalah jantung dari agama itu sendiri. Pun demikian, akidah menempati posisi sentral dalam kehidupan sehari-hari pemeluk agama tertentu. Akidah yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik, begitu pula sebaliknya. Dalam Islam, akidah adalah modal awal yang mesti dimiliki seorang muslim sebelum menjalankan fungsinya sebagai hamba. Akidah menjadi basis pergerakan hamba sebagai manusia individual dan sosial. Karena posisi akidah begitu sentral, penting kiranya mereposisi akidah sebagai basis pergerakan kehidupan, khsususnya untuk merubah realitas atau budaya sekitar.
          Dalam ajaran klasik, akidah hanya difungsikan sebagai kesadaran teologis semata. Ini terbukti dari kajian akidah sendiri yang semuanya bertitiktolak dari masalah-masalah ketuhanan. Tengok saja dalam kitab-kitab teologi klasik, di mana yang menjadi kajian utama dalam kitab-kitab tersebut hanya masalah ketuhanan seperti sifat dan zat Tuhan. Padahal, secara aksiologis, kajian-kajian yang menyentuh langsung aspek ketuhanan tak mempunyai dampak yang signifikan terhadap lingkungan sosial sekitar.
Untuk itu kemudian, diperlukan konsep baru dalam sistem akidah kita. Yakni sistem akidah yang tidak hanya berangkat dari kesadaran teologis an sich, namun juga menjadikan kesadaran humanis-sosial sebagai bahan kajian dan pertimbangan. Akidah yang berbasis kesadaran-humanis sosial tak lagi membahas masalah teologis lagi karena masalah teologis adalah wilayah personal. Sedangkan yang menjadi kajian dari akidah ini adalah masalah-masalah sosial yang melanda masyarakat, seperti korupsi, kemiskinan, pendidikan, dan konflik horizontal.
Relevansi Akidah Antroposentris dengan Pemberantasan Korupsi
          Salah satu yang menjadi sebab seseorang melakukan korupsi adalah lemahnya kontrol terhadap sikap individualitasnya sebagai manusia yang lebih didominasi sifat tamak, moral tidak kuat, dan kurangnya internalisasi ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Sifat tamak, moralitas yang tidak kuat, dan kurangnya internalisasi ajaran-ajaran agama adalah akibat dari lemahnya peran akidah dalam kehidupan sehari-harinya. Karena, akidah yang baik mesti melahirkan perilaku dan kesadaran yang baik. Bila demikian, akidah yang berorientasi pada kesadaran humanis-sosial bila dijadikan landasan dalam perilaku keseharian akan bisa mengontrol dan meminimalisir kemungkinan perilaku-perilaku menyimpang seperti korupsi.
          Relevansi akidah antroposentris dalam pemberantasan korupsi di Indonesia terletak pada fungsi akidah yang tak lain adalah sebagai basis kesadaran dalam berbuat. Bila aspek yuridis-formal hanya memberantas korupsi dari aspek hukum setelah terjadinya praktek korupsi, akidah antroposentris memberantas korupsi semenjak sebelum terjadi. Akidah antroposentris yang berkesadaran humanis-sosial tidak akan melahirkan sikap-sikap jelek yang merusak moralitas dan perilaku seseorang. Bila akidah semacam ini sudah benar-benar terinternalisasi dalam setiap individu, kemungkinan adanya keinginan untuk mengkorupsi hak orang lain bisa dicegah sejak awal. Mencegah sejak awal lebih berguna daripada mencegah setelah korupsi terjadi. Dan hanya akidah yang bisa melakukan itu. Namun yang terpenting, korupsi adalah musuh bersama seluruh masyarakat Indonesia. Korupsi bukan hanya tanggungjawab negara dan agama saja, malainkan kita sebagai masyarakat juga bertanggung jawab dalam memberantas korupsi dari negeri ini. Korupsi pasti pasti mati.!
Wallahua’lam bis-sawab....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar