Kamis, 04 Agustus 2011

Dari Tuhan Maskulin ke Tuhan Feminin


Adanya anggapan bahwa ajaran Islam memarginalkan perempuan masih santer terdengar, utamanya di kalangan Orientalis yang tak sepenuhnya memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Diskursus posisi perempuan dalam konfigurasi Islam (Al-Qur’an) memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Karena memang harus diakui bila ternyata di dalam korpus-korpus suci keagamaan, banyak sekali ditemukan teks-teks yang secara tekstual mengindikasikan adanya marginalisasi tersebut.
Dalam tradisi akademik, teks-teks yang mengindikasikan marginalisasi biasa disebut dengan teks-teks misoginis. Namun, keberadaan teks misoginis tak bisa dipahami secara tekstual an sich. Di balik itu, ada konteks yang melatarbelakangi teks-teks tersebut. Bahkan, konteks inilah yang menjadi sebab mengapa teks-teks itu turun.
Untuk memahami teks-teks yang terindikasi mengandung makna misoginis diperlukan berbagai pendekatan. Tak hanya pendekatan tekstual, pendekatan kontekstual hermeneutik juga layak digunakan. Menggunakan pendekatan hermeneutik diperlukan untuk mengurai makna korpus yang sebenarnya. Baik makna partikular ataupun makna universal. Makna partikular teks adalah makna tekstual dari teks yang ada dan sesuai dengan bunyi teks itu. Sedangkan makna universal adalah makna yang ada di balik teks itu yang lahir dari kombinasi tekstual dan kontekstual.
Mengapa harus teks? teks mempunyai peranan penting dalam pembentukan peradaban Islam. Ia adalah poros sentral dari Islam itu sendiri. Kenyataan bila teks adalah pembentuk realitas dapat dipahami dari cara bagaimana umat Islam bersikap. Peranan teks sangat signifikan dalam membentuk karakter perjalanan sejaran Islam. Tak heran bila kemudian Nasr Hamid Abu Zaid menyebut peradaban Islam sebagai peradaban teks (hadlarah an-Nas).
Melihat signifikansi peranan teks dalam pembentukan peradaban Islam, saya kira perlu ada upaya radikal untuk keluar dari kebiasaan “klasik” itu. Keluar dari kebiasaan mengekor pada teks adalah cara ampuh untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada teks, yang harus disadari bila teks sendiri bersifat terbatas di tengah progresifitas problematika. Dengan demikian, perlu diupayakan perlawanan terhadap teks untuk “membela” kepentingan Tuhan.
Terminologi membela Tuhan dalam judul di atas jangan diasumsikan sama seperti bentuk pembelaan organisasi radikal Islam yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pembela Tuhan. Membela Tuhan dalam tulisan ini adalah membela kepentingan Tuhan yang termanifestasi dalam maqashid asy-syari’ah. Menjelaskan terminologi “membela Tuhan” dirasa perlu karena terminologi tersebut sering disalahartikan oleh sebagian orang.
Karena teks sangat berperan dalam membenttuk peradaban Islam, termasuk menumbuhkan anggapan adanya marginalisasi terhadap perempuan, maka perlu adanya perlawanan dari kita untuk mengeluarkan teks-teks tersebut dari dominasi satu golongan semata. Teks-teks suci keagamaan adalah hak kita bersama. Dan kita pun layak untuk “bercumbu” dengannya. 
Untuk itu, dalam tulisan ini, saya ingin mengelaborasi bagaimana sebenarnya Islam memandang perempuan. Benarkah Islam memarginalkan mereka? Namun, sebelum membahas pandangan Islam tentang perempuan, saya akan membukanya dengan sedikit elaborasi tentang wilayah Islam yang sakral dan profan. Elaborasi tentang wilayah Islam yang sakral dan profan sangat penting agar kita paham secara geneologis proses marginalisasi terhadap perempuan.
Antara yang sakral dan yang profan
Sebagai sebuah ajaran, Islam mempunyai dua dimensi sekaligus. Dimensi sakralitas karena ia turun dari langit (Tuhan) dan dimensi profanitas karena ia menyejarah bersama manusia. Islam tampil dengan wajah sakralitasnya ketika menyangkut masalah ketuhanan dan ritus inti keagamaan. Dan Islam tampil dengan dimensi profanitasnya ketika menyangkut masalah relasi sosial antar pemeluknya.
Membedakan dua dimensi tersebut sangat penting. Karena dalam realitasnya, banyak orang-orang yang tak bisa membedakan mana ajaran Islam yang sakral dan yang profan. Bahkan, dalam sejarah Islam sendiri, banyak terjadi proses sakralisasi ajaran Islam yang sebenarnya bersifat profan. Contoh konkritnya adalah pemahaman yang berkembang di kalangan umat Islam yang menganggap bahwa Islam sudah sempurna di abad pertengahan. Dalam keyakinan mereka, pemahaman terhadap Islam sudah terpahat rapi di abad itu. Sedangkan kita, dalam asumsi mereka, sama sekali tidak pantas untuk memahami Islam.
Mengapa perlu membedakan antara yang sakral dan yang profan? Dalam melihat realitas proses sakralisasi ajaran yang bersifat profan tersebut, Muhamed Arkoun mengistilahkan dengan proses sakralisasi hasil pemikiran keagamaan (taqdis al-Afkar ad-Diniyyah). Bila diteruskan, proses sakralisasi terhadap hasil keagamaan sangat berbahaya bagi Islam, utamanya dalam wilayah dinamisasi Islam sebagai agama yang relevan dan signifikan dalam setiap keadaan.
Dalam realitas sejarah, pemahaman keagamaan berupa penafsiran memang mengalami masa keemasan pada abad kedua Hijriyah. Pada saat itu, keilmuan Islam memang berkembang dengan pesatnya. Bahkan, pada saat itu, Islam menjadi kiblat pengetahuan dunia. Masa keemasan Islam tidak bertahan lama. Bahkan pada akhirnya, Islam harus terjerembab pada masa kestatisan akibat tradisi taklid buta. Dan keadaan itu bisa disebut bertahan sampai saat ini. Di mana yang dominan dalam tradisi keilmuan Islam masih dikuasai oleh kekuatan status quo.
Karena tradisi yang demikian sudah mengakar, tak heran klaim kebenaran terhadap sebuah pemahaman terus terpelihara. Hal inilah yang perlu segera dihilangkan. Hasil pemahaman (tafsir) harus dilihat sebagai produk pemikiran keagamaan yang bersifat profan. Ia (hasil pemahaman) tidak anti-kritik, bahkan harus dikritisi. Tujuan dari kritik itu tak lain hanya untuk mendinamisasi produk tafsir yang sampai sekarang masih didominasi oleh produk tafsir klasik.
Perempuan dalam konfigurasi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber primer dalam Islam. Di dalamnya terdapat aturan-aturan universal yang selalu relevan untuk dikaji dan dipahami. Misi Al-Qur’an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, dan ikatan-ikatan primordial lainnya. Secara tegas Al-Qur’an mempunyai misi pembebasan terhadap manusia, utamanya perempuan.
Ada beberapa argumentasi normatif yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an mempunyai misi menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam segala bidang kehidupan. Proklamasi kesetaraan tersebut misalnya bisa kita lihat dalam masalah proses penciptaan manusia, kesamaan akan diberi pahala oleh Tuhan, dan kedudukan yang sama di hadapan Tuhan.
Argumen-argumen normatif dalam Al-Qur’an yang secara eksplesit menyatakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah bukti bahwa Islam dan Al-Qur’an tidak penah mengunggulkan satu pihak di antara pihak yang lain. Keunggulan manusia hanya bisa dinilai dari kualitas takwanya.
Meski Al-Qur’an telah memproklamirkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun praktek marginalisasi dan subordinasi yang didasarkan atas perbedaan jenis kelamin masih banyak terjadi. Hal ini terjadi karena memang secara normatif banyak nash Al-Qur’an maupun Hadis yang berpretensi mengiyakan praktek marginalisasi dan subordinasi tersebut. Parahnya, nash-nash yang demikian cenderung dipahami secara tekstual tanpa memperhatikan konteks yang melatarbelakangi lahirnya nash-nash itu.
Lebih dari itu, hasil penafsiran terhadap agama memegang peranan penting dalam melegitimasi dominasi laki-laki atas perempuan. Dalam literatur fikih misalnya, perempuan lebih diposisikan sebagai makhluk kelas dua. Dalam hukum keluarga, khususnya dalam relasi suami isteri, nampak jelas bila ahli fikih klasik cenderung menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Ada beberapa contoh dalam fikih klasik yang cenderung membuka kesan mengsubordinasi perempuan. Misalnya keharusan perempuan taat kepada suami, atau perempuan dilarang keluar rumah tanpa seizin suaminya. Bahkan, mayoritas ahli Fikih berpendapat bila isteri tidak boleh puasa sunnah tanpa izin suaminya.
Apa yang tertulis dalam berbagai literatur fikih harus dilihat sesuai kontesknya. Pemahaman apa pun dalam fikih yang tak sesuai dengan tuntutan zaman perlu disegarkan, agar apa yang menjadi tujuan fundamental misi Islam bisa tercapai. Memang bukan perkara mudah. Terlebih untuk saat ini dominasi pemahaman lama masih sangat terlihat. Untuk itu diperlukan kesamaan pemahaman agar semua umat Islam mempunyai satu tujuan: mewujudkan misi Islam menjadi agama rahmatan lil ‘alamin.
Berbicara tentang perempuan, rasanya cukup layak apabila kita menyimak ungkapan Syaikh Al-Akbar, Ibnu Arabi. Pengarang kitab monumental, Al-Futuhat Al-Makkiyah itu menyatakan bahwa, untuk menjadi sufi sejati, seseorang harus menjadi perempuan dahulu. Bahkan, dalam salah satu pernyataannya, Ibnu Arabi mengatakan bahwa, penampakan (tajally) Tuhan yang paling sempurna terdapat pada perempuan.
Mengapa harus perempuan? Menurut Ibnu Arabi, Allah memiliki sifat-sifat yang disebut al-Asma’ al-Husna. Sifat-sifat tersebut terbagi dalam dua kategori, jalaliyah dan jamaliyah. Sifat dalam kategori pertama lebih identik dengan maskulinitas. Sedangkan sifat dalam kategori kedua lebih identik dengan femininitas. Sifat jamaliyyah Tuhan lebih dominan daripada sifat jalaliyah-Nya.
Dari asumsi ini kemudian tak salah apabila disimpulkan bahwa tak tepat  bila ada anggapan yang menyatakan bahwa Tuhan lebih bersifat maskulin. Berangkat dari argumentasi Ibnu Arabi di atas, dapat disimpulkan bahwa Tuhan lebih bersifat feminin, sebagaimana dinyatakan dalam hadis qudsi-Nya: “Kasih saying-Ku mendahului muraka-Ku”.  Oleh karena itu, perempuan lebih memiliki peluang untuk mengerti, memahami, dan mengenal Tuhan. Sifat feminin pada perempuan inilah yang membuat perempuan lebih mampu menjalankan tugas reproduksi demi kelangsungan peradaban manusia di muka bumi. Tak heran jika fungsi perempuan sebagai ibu mendapatkan penghormatan tiga kali lebih besar daripada penghormatan kepada ayah.
Meski dalam Al-Qur’an Tuhan lebih dilambangkan dengan sifat maskulin, terbukti dari pemilihan kata ganti untuk Tuhan (dlomir) menggunakan kata huwa, namun kenyataan tersebut tak tepat bila dijadikan argumentasi untuk menyatakan bahwa Tuhan lebih didominasi sifat maskulinitasnya. Pemilihan kata ganti yang mengarah pada kategori mudzakkar, harus dilihat sebagai sebuah atribut yang dipilih. Sementara dalam perspektif sifat, bagaimana pun Tuhan tetap didominasi sifat femininitas-Nya. Dengan demikian, mulai saat ini, yang harus menjadi prinsip kita adalah merubah kesadaran dari Tuhan yang awalnya diasumsikan maskulin, dirubah menjadi Tuhan yang lebih diasumsikan bersifat feminin. Dengan bahasa lain: dari Tuhan maskulin ke Tuhan feminin.
Wallahu a’lam…





Senin, 01 Agustus 2011

Meluruskan Makna Qishas


Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan teman-teman di kelas kuliah, masih banyak dari mereka yang menganggap bahwa hukum qishas termasuk hukum yang tak manusiawi. Terlebih untuk saat ini, istilah qishas begitu familiar, utamanya pasca dipancungnya TKW Indonesia di Arab Saudi, Ruyati.
Menurut kalangan yang tidak menyepakati, qishas dianggap sebagai hukum rimba yang tak lagi relevan untuk diaplikasikan. Padahal, dilihat dari sumber pengukuhannya, hukum qishas ditetapkan secara langsung oleh agama (al-Qur’an). Anggapan yang menyatakan bahwa hukum qishas tidak manusiawi lahir dari kurang pahamnya mereka pada tujuan disyari’atkannya qishas dalam hukum pidana Islam. Padahal, pemberlakuan qishas dalam hukum pidana Islam tak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat Arab sebelum Islam datang.
Qishas (hukuman setimpal), sudah ada dan dipraktekkan oleh masyarakat Arab pra Islam. Namun demikian, pada masa itu, qishas lebih diartikan sebagai balasan setimpal yang lebih mengarah pada balas dendam. Dalam tradisi masyarakat pra Islam, balas dendam atas terbunuhnya seseorang akan terus berlangsung hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Sehingga, apabila terjadi kasus pembunuhan, dendam turun temurun antar keluarga pun tak bisa dihindari.
Potret masyarakat Arab pra Islam memang dikenal sebagai masyarakat bar-bar. Tak heran bila kemudian mereka (baca: masyarakat Arab pra Islam) dicap sebagai masyarakat Jahiliyah. Mengubur hidup-hidup anak perempuan adalah salah satu tradisi yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian Islam datang untuk merubah tradisi itu. Tradisi Arab yang awalnya bersifat otoriter dirubah menjadi egaliter. Dari tradisi patriarkal diganti menjadi tradisi bilateral.
Qishas dalam konfigurasi Al-Qur’an
Syari’at Islam diturunkan untuk melindungi lima prinsip dasar yang menjadi tujuan diberlakukannya sebuah aturan. Kelima prinsip dasar tersebut adalah menjaga agama (hifdzu ad-Din), menjaga jiwa (hifdzu al-Nafs), menjaga keturunan (hifdzu an-Nasl), menjaga harta (hifdzu al-Mal), dan menjaga akal (hifdzu al-‘Aql). Kelima prinsip dasar ini menjadi basis epistemologis dalam setiap aturan yang ditetapkan oleh Islam.
Hukuman qishas ditetapkan untuk melindungi salah satu dari kelima prinsip di atas, yakni menjaga jiwa. Dalam Islam, jiwa (nyawa) merupakah harta yang paling berarti. Oleh sebab itu, secara tegas Islam melarang menghilangkan nyawa seseorang (pembunuhan) tanpa adanya alasan yang jelas. Bahkan bagi pelaku pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, al-Qur’an mengancamnya dengan balasan neraka jahanam. Untuk melindungi jiwa agar tidak hilang secara percuma, Islam menjadikan hukum qishas sebagai tameng agar seseorang tidak ceroboh melakukan tindakan pembunuhan. Bahkan secara tegas al-Qur’an menyatakan bahwa qishas bertujuan untuk melestarikan kehidupan, dan bukan sebaliknya sebagaimana dipahami sebagian kalangan.
Qishas yang ada dalam al-Qur’an berbeda dengan qishas yang menjadi tradisi Arab pra Islam. Qishas dalam al-Qur’an menganut prinsip keadilan, yakni nyawa dibalas nyawa. Dalam qishas Islam, keadilan bagi si korban menjadi tujuan fundamental di balik pemberlakuan hukuman qishas tersebut. Keadilan bagi si korban juga mencakup masa depan keluarga yang ditinggalkan, baik masa depan mental maupun material. Untuk itu, tak tepat rasanya apabila ada anggapan yang meyakini bahwa qishas merupakan hukum rimba yang tak manusiawi. Karena bagaimana pun, qishas diterapkan untuk melindungi kehidupan.
Namun yang harus dipahami, qishas bukanlah satu-satunya hukuman yang ditetapkan Islam. Ada hukuman alternatif yang bisa ditempuh dengan persetujuan keluarga si korban, yakni pemberian maaf dari keluarga yang dibarengi dengan membayar denda (diyat). Jumlah denda yang harus dibayar ditentukan oleh keluarga si korban. Sebenarnya, ketentuan qishas dalam al-Qur’an merupakan langkah prefentif agar tak ada seorang pun yang dengan gampangnya menghilangkan nyawa manusia tak berdosa. Langkah prefentif diambil untuk membuktikan bahwa jiwa (nyawa) adalah harta manusia yang paling berharga dan wajib dijaga.
Ruyati dan kelemahan diplomasi Indonesia
Apa yang terjadi pada Ruyati tak tepat bila dilihat dari sistem qishasnya. Karena bagaimana pun, qishas sudah menjadi aturan yang dipilih oleh pemerintah Arab Saudi sebagai sistem hukum. Qishas tak bisa disalahkan. Ia sudah menjadi ketentuan yang wajib ditaati oleh siapa pun yang ada di wilayah yang menggunakan sistem qishas sebagai aturan hukum.
Tentu yang pantas disalahkan dalam kasus Ruyati adalah pemerintah. Pemerintah sangat lamban dalam memberi jaminan perlindungan bagi TKI yang tersebar di berbagai negara. Bahkan, untuk kasus Ruyati misalnya, pemerintah sangat terlihat lamban dalam mengawal kasus yang menimpa TKW yang bekerja di Arab Saudi itu. Bagaimana mungkin pemerintah bisa dikatakan sudah melakukan advokasi, sedangkan proses eksekusi Ruyati mereka tak dikabari?
Andai saja pemerintah serius mengawal kasus Ruyati, mungkin peristiwa memilukan itu tak akan terjadi. Memang hukuman qishas tak bisa disalahkan. Namun, bila pemerintah benar-benar serius mengupayakan permohonan maaf kepada keluarga korban yang dibunuh Ruyati, tentu hukuman qishas bisa dihindari. Permohonan maaf bisa diupayakan dengan pendekatan diplomasi politik. Tapi, karena sejak dahulu diplomasi politik Indonesia lemah dan tak punya daya tawar, celah permohonan maaf yang seharusnya dimanfaatkan secara maksimal terbuang percuma. Dengan demikian, yang bermasalah bukanlah qishas yang menjadi aturan pemerintah Arab Saudi, melainkan keseriusan pemerintah dalam mengawal dan melindungi TKI.

Khutbah Antikorupsi


Korupsi selalu menarik untuk diperbincangkan. Tak terhitung sudah berapa banyak tulisan yang mengulas masalah ini. Dari yang menggunakan perspektif hukum, agama, sosial, hingga budaya. Kesimpulan dari berbagai macam tulisan itu hanya satu: korupsi sangat berbahaya.
Di Indonesia sendiri korupsi bisa dikatakan sudah membudaya. Bahkan korupsi sudah menjadi virus mematikan yang menyebar ke berbagai elemen bangsa. Dari korupsi kelas kakap ratusan milyar, hingga korupsi kelas teri berupa pungli di jalanan. Ironis memang, mengapa bangsa yang semua penduduknya kaum beragama malah terjerembab ke jurang memalukan itu?
Tentu jawaban dari pernyataan di atas tak sesederhana yang kita bayangkan. Banyak faktor mengapa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan sulit dihilangkan. Mulai dari penegak hukumnya yang tak serius bekerja untuk memberantas korupsi, hingga mental dan keimanan mereka yang gampang terbujuk oleh harta. Tengok saja kasus-kasus korupsi yang banyak terjadi. Bukankah mayoritas koruptor terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi, beragama, bahkan juga banyak yang berprofesi sebagai penegak hukum.
Melihat kenyataan ini, hati saya bertanya-tanya. Mengapa korupsi begitu sulit hilang dari Indonesia? Padahal, secara yuridis-formal, Indonesia sudah punya Undang-undang khusus yang bisa dijadikan payung dalam membersihkan korupsi dari negeri ini. Namun apa daya, Undang-undang yang ada terkadang hanya menjadi pajangan. Keberadaan Undang-undang tak membuat koruptor jera.
Yang lebih memprihatinkan lagi ternyata banyak koruptor di Indonesia yang beragama Islam. Padahal, secara tegas Islam mengajarkan bahwa mengambil hak orang lain termasuk dalam kategori dosa besar. Mencuri saja dalam Islam bisa dipotong tangan, apalagi mengambil hak rakyat banyak? Tentu saja secara agama perbuatan itu tak bisa dibenarkan. Dan tentunya kita sebagai umat Islam juga ikut bertanggungjawab untuk mencari solusi dari probelem korupsi ini. Karena bagaimana pun, memberantas korupsi bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja. Kita, umat Islam juga berkewajiban untuk turut serta menyadarkan saudara seiman yang masih terbelenggu dalam lingkaran setan itu.
 Khutbah Jum’at antikorupsi
Bagi masyarakat muslim, Jum’at merupakan hari istimewa. Jum’at menjadi istimewa karena ia dijuluki sebagai tuannya hari (sayyidul ayyam). Pada hari Jum’at lah momentum umat Islam berkumpul untuk melaksanakan ibadah bersama. Hari Jum’at disediakan oleh Allah tak lain bertujuan agar umat Islam mempunyai waktu untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan yang lain setelah untuk beberapa hari sebelumnya sibuk mencari kehidupan dunia. Jum’at menjadi momentum tepat untuk menumpahkan segala bentuk uneg-uneg dalam diri.
Selain itu, Jum’at juga menjadi medium tepat untuk berintrospeksi diri. Makanya, dalam setiap Jum’at selalu ada waktu untuk saling mengingatkan (tawashaw bil haq wa tawashaw bis-sabr), yakni berupa khutbah yang disampaikan sebelum melaksanakan shalat bersama. Keberadaan khutbah sangat penting, selain karena sebagai rukun, khutbah juga menjadi media paling efektif untuk saling mengingatkan.
Oleh karena itu, saya kira perlu untuk mengoptimalisasikan peranan khutbah Jum’at dalam rangka menguarai problematika yang sedang melilit bangsa, termasuk korupsi. Dalam beberapa kesempatan shalat Jum’at yang saya ikuti di berbagai tempat, mayoritas tema yang disampaikan Khatib cenderung “melangit”. Saya sebut melangit karena tema-tema khutbah yang mereka tawarkan hanya menyentuh dimensi akhirat an sich.  Sementara untuk problem sosial yang sedang melilit bangsa jarang atau bahkan tidak pernah disentuh.
Terlalu sayang rasanya bila khutbah Jum’at hanya menyentuh dimensi akhirat semata. Padahal, bila khutbah Jum’at bisa dioptimalisasikan sebagai media pendidikan antikorupsi mungkin akan sangat bermanfaat. Bayangkan, ada ratusan bahkan mungkin ribuan jamaah yang akan mendapatkan pendidikan antikorupsi sejak dini. Bagi saya, dengan menjadikan antikorupsi sebagai tema khutbah, akan sangat membantu dalam pemberantasan korupsi, utamanya sebagai langkah prefentif. Bila Undang-undang hanya menjaga dan mengatur saat korupsi terjadi, maka khutbah antikorupsi akan menjaga sejak dini.
Untuk itu, sudah saatnya pemerintah melibatkan Khatib-khatib Jum’at di berbagai daerah dalam memberantas korupsi dari negeri ini. Berilah mereka pelatihan dan pendidikan antikorupsi, untuk kemudian mereka sampaikan di khutbah Jum’at tempat mereka berasal. Mungkin, dengan cara sederhana ini, kesadaran antikorupsi bisa mereka tularkan ke jamaah mereka. Bila ini yang terjadi, maka percayalah tak lama lagi korupsi akan hilang dari Indonesia kita tercinta.    
Sekarang, yang kita tunggu hanyalah keseriusan pemerintah. Sejauh mana pemerintah berkomitmen untuk memberantas korupsi. Dan satu hal yang perlu menjadi catatan, hanya dengan melibatkan semua pihak pemberantasan korupsi berjalan dengan sukses. Pemerintah tak bisa mengandalkan penegak hukumnya semata. Karena kenyataanya, ternyata di lembaga penegak hukum lah lumbung praktek korupsi berada.
Melibatkan khatib Jum’at adalah cara yang bisa ditempuh. Apalagi saat ini masyarakat banyak yang frustasi melihat kenyataan pemberantasan korupsi yang cenderung setengah hati. Siapa tau, dengan melibatkan khatib Jum’at di berbagai daerah, kesadaran antikorupsi akan menjadi kesadaran bersama yang termanifestasikan melalui perlawanan terhadap korupsi dari unsur terbawah: rakyat.
Semoga korupsi bisa segera hilang dari bumi pertiwi!.

Reformulasi Pers Mahasiswa


Di negara demokrasi, pers merupakan instrumen penting pengontrol kekuasaan. Pers adalah pilar demokrasi keempat yang harus ada dan dijamin kebebasannya. Tanpa pers, kekuasaan akan tampil sedemikian liar tanpa bisa dikontrol oleh siapa pun.
Untuk konteks Indonesia, kebebasan pers baru bisa dirasakan pasca runtuhnya orde baru. Sebelumnya, pers masih terpasung dalam kerangkeng kekuasaan. Saat itu, gerak pers sangat dibatasi. Pemerintah mengontrol setiap gerak-gerik pers. Bila ada media pers yang berani menganggu “kenyamanan” pemerintah, maka bredel adalah konsekwensi yang mesti direrima.
Namun demikian, di tengah suasana yang pelik itu, masih ada pers yang berani melawan “arus”, bahkan tampil sedemikian garang untuk melawan rezim otoriter yang menindas rakyat. Pers Mahasiswa (Persma) adalah media pers yang mampu tampil ke permukaan untuk melawan rezim saat itu. Tak heran kemudian banyak orang yang menyebut Persma sebagai pers perlawanan.
Selain disebut pers perlawanan, Persma juga disebut pers alternatif. Disebut pers alternatif karena saat itu Persma mampu menyajikan liputan-liputan alternatif yang tak disentuh oleh pers umum. Tak jarang karena keberaniannya itu banyak Persma yang dibredel oleh Rektorat (sebagai kepanjangan pemerintah di tingkat kampus), termasuk Persma tempat sekarang saya bernaung juga pernah merasakan itu.
Jargon sebagai pers alternatif tetap melekat sampai saat ini. Di tengah kran kebebasan pers yang sudah terbuka lebar, keberadaan Persma kalah pamor dengan pers umum yang harus diakui bila kualitas terbitan dan intensitas penerbitannya melebihi Persma itu sendiri. Satu sisi, kebebasan pers memberi dampak positif. Namun di sisi lain, kebebasan pers telah menenggelamkan pamor Persma yang sempat menjadi pioner di masa lalu.
Romantisme sejarah yang sering digembar-gemborkan oleh aktivis Persma (termasuk saya tentunya), mesti segera dikubur dalam-dalam. Saat ini, hal mendesak yang harus dilakukan adalah merumuskan kembali jargon pers alternatif. Dengan memaknai ulang makna alternatif diharapkan Persma akan kembali bangkit. Karena bagaimana pun, Persma adalah kawah candra dimuka tempat menempa calon-calon penjaga peradaban pers masa depan.
Dari alternatif isu ke alternatif output
Harus jujur diakui bila saat ini Persma memang sedang mengalami problem pelik. Hampir di semua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di berbagai kampus mengalami masalah serupa: dari kaderisasi hingga produk penerbitan.
Masalah kaderisasi menjadi salah satu problem krusial. Konteks saat ini sangat berbeda dengan konteks saat Persma mengalami masa keemasannya. Bila dulu berkecimpung di Persma dianggap sebagai sesuatu yang prestisius, saat ini banyak mahasiswa yang enggan berkecimpung dan berorganisasi, termasuk berkecimpung di Persma. Persma sudah tak seprestisius dulu, sekarang banyak mahasiswa yang memilih menjadi akademisi an sich. Keadaan ini diperparah dengan kebijakan kampus yang cenderung membatasi ruang gerak aktivitas mahasiswa.
Produk penerbitan menjadi problem paling krusial yang mendesak dicari formula penyelesaiannya. Problem dalam penerbitan terletak pada kualitas dan intensitasnya. Untuk kualitas memang lebih bersifat subjektif. Karena berkualitas tidaknya sebuah hasil penerbitan lebih ditentukan oleh penilaian pembaca terhadap hasil penerbitan itu. Menilai kualitas hasil penerbitan Persma harus dibedakan dengan pers umum. Bagaimana pun Persma dikelola oleh mahasiswa yang masih belajar menjadi pelaku pers. Sedangkan pers umum dikelola oleh orang-orang yang sudah profesional.
Dilihat dari intensitas terbitan, Persma sering disebut sebagai media pers yang terbit berkala, kala terbit dan kala tidak. Sebutan ini bukan tanpa alasan. Karena kenyataanya, masalah intensitas menjadi masalah besar yang sulit dihilangkan. Molornya penerbitan Persma bisa disebabkan oleh beberapa hal. Dari kinerja yang amburadul hingga ketersediaan dana yang tak memadai.
Namun problem di atas bukanlah alasan untuk membuat Persma mati tanpa karya. Sampai kapan pun, Persma tetap diperlukan untuk mencetak calon-calon penjaga peradaban pers masa depan. Pun demikian, Persma tak boleh diam saja apalagi membiarkan keterpurukan yang terjadi. Persma harus bangkit dan kembali menjadi episentrum yang memproduksi ide-ide segar perubahan.
Kualitas dan intensitas memang sulit berjalan beriringan. Namun bila harus memilih antara memprioritaskan kualitas dan intensitas, maka saya lebih memilih memprioritaskan intensitas. Karena bagaimana pun, kualitas lahir dan terbentuk dari intensitas, bukan sebaliknya.
Apa yang menjadi kegelisahan dalam tulisan ini hanya berdasarkan apa yang penulis lihat dan rasakan selama berkecimpung di dunia Persma. Tentu, pengalaman setiap individu berbeda. Dan bisa saja setiap orang mempunyai kesimpulan yang berbeda bila ditanya tentang problem-problem yang melilit Persma saat ini. Namun yang jelas, untuk saat ini, Persma memang sedang butuh penyegaran agar sebutan sebagai pers alternatif juga pers perlawanan bisa tetap disematkan.
Hidup Persma!.