Senin, 01 Agustus 2011

Biduan di Pengungsian

Ternyata aku seorang biduan. Selama ini itu yang belum kupahami. Biduan kampung yang hanya bermodal suara dan goyangan tubuh. Apa memang takdirku menjadi biduan? Atau ini hanya proses perjuangan hidup yang kapan saja bisa berubah? Ah, tak usah kupikirkan. Bila itu takdir, biar saja aku melakukannya hingga aku mati. Tapi bila ini proses hidup, sebenarnya aku ingin segera berpindah dari prosesku ini.
Tapi itu dulu. Sekarang aku bangga jadi biduan. Aku bangga bukan karena status kebiduananku menghasilkan cukup uang untuk bekal hidup. Tapi aku bisa merasakan begitu bermanfaatnya aku dengan statusku itu. Sekarang, aku tak lagi peduli apakah status aku sebagai biduan merupakan takdir atau proses perjuangan hidup. Yang penting, sekarang aku bangga jadi biduan kampung.
**********
"Ayo, Rin. Kita berangkat sekarang." panggil Mas Eko yang sedari tadi menunggu di depan kontrakan mungilku.
"Iya, Mas. Nih, aku udah selesai." jawabku sambil menutup pintu kamar.
Malam ini, seperti biasa, aku mesti berangkat ke pengungsian korban Merapi. Di sana, tiap malam aku bernyanyi untuk menghibur korban-korban dan relawan. Aku tau bila pikiran mereka penat. Mereka pasti butuh hiburan. Karena aku tak punya apa-apa untuk kusumbangkan, biarkan suaraku saja yang kusumbangkan untuk mengusir kebosanan di tengah pengungsian. Siapa tau setelah mendengar suaraku, rasa penat yang menghantui mereka bisa hilang. Sebagai biduan, dandananku harus tetap menor. Bukan karena apa, tapi beginilah nasib penyanyi kecil, yang menghidupi dirinya dari manggung kecil-kecilan. Itu pun bila ada hajatan atau syukuran pernikahan. Tapi untuk malam ini dan malam-malam selanjutnya, aku bernyanyi bukan untuk mencari bayaran, tapi untuk menghibur gratis para korban yang sedang kesusahan.
Aku rela bernyanyi tanpa dibayar demi mereka yang kehilangan tempat tinggal. Oh...betapa kasihannya mereka. Rumah yang mereka tinggali kini sudah tak berwujud lagi. Semuanya hancur oleh keganasan Merapi. Tuhan, mungkin ini semua adalah kehendak-Mu. Dengan kehendak-Mu semua bisa terjadi, termasuk mengembalikan kehidupan mereka seperti dulu lagi. Hanya ini permohonanku, Tuhan. Permohonan seorang biduan kampung penjual suara demi menghibur orang.
Tak terasa 30 menit berlalu, kami pun sampai di stadion besar tempat ribuan pengungsi tinggal. Tak ajuh beda dengan malam sebelumnya, suasana stadion hampir sama, lalu lalang tentara dan relawan tetap tampak terlihat. Deretan mobil-mobil mewah yang parkir sempat membuatku berpikir, mobil-mobil siapa ini? Bukankah orang-orang yang tinggal di sini semuanya orang susah, jadi tak mungkin rasanya bila mobil-mobil mewah itu punya pengungsi. Atau jangan-jangan itu mobil-mobil pejabat yang mengambil kesempatan untuk menarik simpati masyarakat? Ah...aku tak boleh berfikir seperti itu. Mungkin saja mobil-mobil itu punya dermawan. Semoga saja demikian.
Aku pun turun dari mobil butut hitam yang kutumpangi. Tanpa pikir panjang kulangkahkan kaki menuju panggung apa adanya. Sungguh, itu tak layak dikatakan panggung. Tak ada lampu gemerlap layaknya panggung hiburan. Hanya hamparan terpal dan satu lampu sorot. Tapi inilah panggung hiburan rakyat. Tak perlu lampu gemerlap, karena cahaya bulan sudah cukup dijadikan penerang. Kudengar suara ibu-ibu yang memanggil namaku, "Mbak Rini...mbak Rini...," aku hanya tersenyum mendengar namaku disebut. Ternyata, kehadiranku di sini diterima. Baru ketiga kalinya aku menghibur mereka, ternyata mereka sudah banyak yang kenal namaku. Semoga perkenalan ini tetap abadi, tak lekang dimakan waktu atau sakit hati.
**********
Sebelum mulai bernyanyi, aku mesti bersiap-siap dulu. Kumasuk ke toilet sementara yang berjejer di samping panggung yang nantinya akan menjadi tempatku bernyanyi. Kuperbaiki dandananku. Itu semua kulakukan hanya demi satu hal: kesempurnaan untuk tampil. Bila aku tampil sempurna, para pengungsi itu pasti merasa terhibur. Dan tugasku sebagai penghibur sejati bisa terlaksana dengan baik. Memang harus diakui bila tak mudah menjadi penghibur di pengungsian. Selain karena harus membiasakan diri untuk tidak dibayar, diriku lebih punya tanggungjawab besar. "Tanggungjawab sebagai penghibur pengungsi lebih besar daripada menghibur di acara kawinan, Rin." itu kata Mas Eko suatu ketika. Kata itu selalu aku ingat agar bisa selalu ikhlas meluangkan waktu untuk menghibur mereka yang lagi susah. Di pengungsian, aku tak menjual suaraku. Aku hanya ingin menunjukkan kepedulianku sebagai sesama manusia. Aku tak punya tujuan apa-apa. Sekali lagi, aku tak punya tujuan apa-apa. Dan, hanya ini yang bisa sumbangkan untuk mereka.
Hp ku berbunyi. Ternyata ada sms dari Mas Eko, "Siap-siap, bentar lagi kita mulai".
"Iya, Mas. Rini udah siap".
Mas Eko, lelaki setengah baya yang selama ini bisa dibilang sebagai manajerku. Tapi bagiku dia lebih dari sekedar manajer. Dia bisa menjadi bapak sekaligus menjadi kakak. Lelaki itu yang menunjukkanku jalan menjadi biduan. Kalau tak ada dia, entah aku akan jadi apa di Jogja. Aku hanya wanita perantauan yang mencoba mencari keberuntungan di kota pelajar ini. Tapi apa mau dikata, tak satu pun pekerjaan yang kudapat. Bila pun ada, pekerjaan itu sama sekali tak cocok dengan apa yang kuinginkan. Pernah suatu ketika, aku bekerja di sebuah kafe di Jogja. Bagiku, kafe itu tak lebih seperti tempat dugem yang menyajikan lagu-lagu keras yang memekakkan telinga. Tak kuat aku bekerja di sana. Hingga akhirnya aku pun berjumpa Mas Eko. Dia yang menawariku menjadi biduan di orkes kecil miliknya.
Banyak orang sinis dengan profesiku. Mereka anggap biduan tak ubahnya seperti perempuan jalang. Kudengar bisik-bisik itu dari tetangga sekitar yang tak suka dengan profesiku. Yang mereka tau, biduan hanyalah profesi hina karena kerjanya cuma menjual suara dan goyangan tubuh. Tapi mereka salah. Mereka tak pernah bisa memahami bagaimana rintihan perempuan sepertiku. Mereka tak akan pernah tau apa yang kurasakan. Tak sesederhana itu menilai seseorang. Memang, aku menjual suara dan goyangan. Tapi apakah itu salah? Bukankah di negeri ini harga diri sudah tak lagi dihargai? Sudahlah, tak usah berbicara moral segala. Perbaiki dulu moralmu. Bila di negeri ini masih ada korupsi dan penindasan, jangan kau atur orang kecil sepertiku untuk menjadi orang baik. Perbaiki saja dirimu. Ah...pada siapa aku berkata seperti ini? Aku pun tak tau.
Kudengar namaku dipanggil. Aku keluar dari barak tentara yang menjadi tempat kami istirahat sementara. Kulambaikan tangan pada pengungsi yang sedari tadi mengerumuni panggung kecil itu. Kusapa mereka dengan manja. Kutanyakan kabar mereka malam ini. Sambil lalu kupandangi mata sayu ibu-ibu yang juga hadir di panggung itu. Mereka tersenyum padaku. Senyum yang tak mereka paksakan. Senyum yang menghapus ingatan mereka akan bencana yang mereka hadapi. Kunyanyikan lagu "Cinta Satu Malam" untuk membuka penampilanku malam itu. Lagu itu sengaja kupilih bukan tanpa alasan. Aku harap, dengan lagu itu, meski hanya semalam bertemu dengan mereka, pertemuan kami bisa jadi cinta. Cinta yang akan mengikat sisi aku sebagai manusia dan bisa mengasah kepedulianku kepada sesama. Meski biduan, aku bukan individualis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi. Aku bukan pejabat negeri ini yang terlalu perfeksionis dalam bersikap. Mereka terkurung oleh penjara formalitas yang mereka buat sendiri. Sementara aku, meski seorang biduan kampung, tak boleh terjebak pada hal-hal seperti itu. Cukup pejabat saja dengan pangkat yang dimiliki merasa dirinya di atas orang lain. Sementara aku tak boleh seperti itu. "Semoga saja aku bisa mempertahankan sikapku." gumamku dalam hati.
Satu lagu sudah kuselesaikan. Aku bahagia melihat pengungsi tertawa apalagi banyak di antara mereka yang ikut berjoget denganku. Meski sebentar, mungkin itu bisa mengusir sejenak kesedihan yang merundung mereka. Tak hanya pengungsi yang ikut menikmati nyanyianku. Tentara dan relawan pun turut berjoget bersama. Mungkin saatnya mereka membuang lelah karena seharian melayani pengungsi. Satu pelajaran besar bagiku. Meski bangsa ini sedang dilanda krisis multidimensional. Masih tersisa dari masyarakatnya rasa kemanusiaan yang sangat besar. Bangsa ini memang sempat bercerai-berai. Tapi dengan bencana mereka disatukan. Inilah karakter sejati bangsaku, berbeda-beda tapi tetap satu. Relawan dengan suka rela meninggalkan keluarga nun jauh di sana demi menolong saudara. Tak ada sekat agama maupun suku. Semuanya berbuat atas satu kepentingan: kemanusiaan.
Aku duduk di bangku kecil sambil menunggu giliranku tampil untuk kedua kalinya. Sambil kuteguk air mineral yang sedari tadi sudah disediakan Mas Eko. Di sampingku, duduk dua ibu-ibu setengah baya yang tersenyum padaku.
"Mbak, nanti nyanyi Alun-alun Nganjuk, Ya." pintanya padaku.
"Nggeh, Bu." jawabku menyenangkan mereka.
Namaku dipanggil lagi. Aku beranjak dari tempat duduk dan segera menuju panggung kecil di depanku. Kudengar tepuk tangan riuh dari mereka. Sungguh, aku tak seperti tampil di pengungsian. Begitu meriahnya mereka menyambutku. Ini sudah cukup menjadi bayaran bagiku, dan itu tak ternilai harganya. Kusampaikan pada penonton bila aku ingin menyanyikan lagu Alun-alun Nganjuk sebagaimana yang ibu-ibu tadi minta. Kudengar tepukan yang lebih meriah dari sebelumnya. Aku pun bernyanyi lagi membawakan lagu campursari yang mereka minati. Ada kebanggaan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata saat mereka dengan senangnya terhanyut dalam lagu yang kudendangkan. "Inilah yang mereka perlukan." pikirku dalam hati. Memang iya, mereka butuh hiburan, bukan ekspresi simpatik pejabat yang lebih dilandasi kepentingan pencitraan.
**********
Waktu sudah menunjukkan jam 21:30. Berarti sebentar lagi tugasku akan selesai. Aku memaknai apa yang kulakukan malam ini sebagai tugas. Tugas manusia sebagai hamba Tuhan yang mesti peduli pada sesama. Saat kulihat keceriaan mereka, ingin rasanya aku berdendang buat mereka sepanjang waktu. Tapi tak mungkin. "Pengungsi juga manusia," batinku. Mereka perlu istirahat dan terbang ke langit mimpi. Aku tau mereka butuh bermimpi sejenak sambil melupakan kesusahan yang akan mereka hadapi setelah pulang dari pengungsian.
"Bernyanyilah dari hati, Rin." nasehat Mas Eko padaku.
"Tentu, Mas. Aku melakukannya dengan hatiku."
"Aku bangga padamu." pujinya lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar pujian Mas Eko. Apa benar aku sudah membanggakan orang lain? Bila benar, betapa bahagianya aku. Ternyata seorang biduan kampung pun berhak membanggakan dan dibanggakan. Semakin bersemangat saja aku dibuatnya. "Aku harus menghibur mereka sampai nanti mereka pulang dari pengungsian," tekadku. Semoga aku bisa melakukannya. Bisa mengbdikan diri untuk mereka dengan suara dan goyanganku. Dan aku sangat yakin bila ini bernilai pahala. Bahkan mungkin bisa lebih banyak dari sumbangan materi pejabat-pejabat yang menginginkan timbal balik dari sumbangannya. Oh, tapi buat apa aku memikirkan pahala segala?. Rasanya aku tak pantas membicarakannya, apalagi mengharapkannya. Aku bernyanyi karena hatiku menuntut itu. Bukan karena siapa atau untuk apa.
Waktu semakin larut. Suasana pengungsian berangsur-angsur sepi. Para pengungsi mulai masuk ke barak-barak mereka. Ada yang sudah tertidur. Namun ada pula yang masih bercengkrama dengan sesama. Entah apa yang mereka obrolkan. Yang jelas, dari raut wajahnya, tergambar beban besar bagaimana nasib mereka selanjutnya. Setelah membereskan peralatan-peralatan panggung, Mas Eko mengajakku pulang. Aku pamit sama orang-orang yang masih ada di sekitar panggung tempat tadi aku bernyanyi. Kukatakan pada mereka bila besok malam aku pasti kembali. Sekali lagi, aku pasti kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar