Senin, 01 Agustus 2011

Tauhid dan Kesadaran Ekologis


Berbagai peristiwa bencana alam yang bertubi-tubi menimpa negeri ini menyisakan satu pertanyaan besar, mengapa harus Indonesia yang sering terkena musibah? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan karena bila dilihat dari intensitas terjadinya bencana, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara yang paling sering terkena musibah bencana alam. Selain karena faktor geografis Indonesia yang katanya berada dalam area rawan bencana, tentunya perilaku masyarakat juga turut andil dalam menimbulkan bencana tersebut.
Bila dikaji lebih dalam, semua bencana alam yang menimpa negeri ini bisa dijadikan indikator bila ada hal yang tak beres dengan sistem tata masyarakatnya. Karena, bila tata masyarakat berjalan sesuai dengan tata aturan, kemungkinan terjadinya bencana bisa diminimalisasi. Salah satu tata aturan yang mesti diperhatikan oleh masyarakat kita adalah menghidupkan kembali tradisi harmonisasi antara alam dan manusia. Andaikan harmonisasi antara alam dan manusia berjalan, mungkin bencana alam tak akan bertubi-tubi mengguncang negeri ini.
Ber-tauhid dengan gaya baru
Menurut Hassan Hanafi, tauhid konvensional seringkali hanya berangkat dari kesadaran teologis semata tanpa mengindahkan kesadaran sosial yang justru menjadi tujuan utama dari tauhid itu. Dengan demikian, tauhid konvensional lebih mementingkan kesadaran teologis yang sebenarnya tak terlalu penting untuk dijadikan kajian utama. Tengok saja dalam kitab-kitab teologi klasik, di mana yang menjadi kajian utama dalam kitab-kitab tersebut masalah ketuhanan seperti sifat dan zat Tuhan itu sendiri. Padahal, secara aksiologis, kajian-kajian yang menyentuh langsung aspek ketuhanan tak mempunyai dampak yang signifikan terhadap lingkungan sosial sekitar.   
Untuk itu kemudian, diperlukan konsep baru ber-tauhid yang lebih menampakkan dampak signifikan bagi kehidupan masyarakat. Bila tauhid konvensional cenderung berangkat dari kesadaran teologis an sich, maka tauhid gaya baru mesti berangkat dari kesadaran humanis-sosial. Bila tauhid itu sendiri sudah berangkat dari kesadaran-humanis sosial, maka yang menjadi fokus utama dari kajian ini adalah masalah-masalah sosial yang melanda masyarakat, seperti kemiskinan, pendidikan, bencana alam, dan konflik horizontal. Untuk urusan ketuhanan sama sekali tak mendapatkan tempat dalam tauhid gaya baru ini, karena urusan ketuhanan lebih baik bila dijadikan urusan personal saja.
Yang terpenting, sebenarnya tauhid bisa dijadikan solusi untuk menyelesaikan problem konflik horizontal yang selama ini marak terjadi. Syaratnya, selain membuat tauhid berangkat dari kesadaran humanis-sosial, perlu juga mengembalikan kata tauhid ke makna asalnya. Pengembalian tauhid ke makna asal bertujuan untuk mengeluarkan istilah tauhid itu dari klaim kelompok tertentu (Islam).
Secara sederhana kata tauhid bisa diartikan penyatuan. Penyatuan di sini adalah penyatuan transendental-primordial tanpa dibatasi oleh hal apa pun, termasuk agama. Sehingga kemudian, tauhid bisa diartikan penyatuan sosial, bukan penyatuan Tuhan yang selama ini kita yakini. Bila tauhid sudah dikembalikan pada makna asalnya, saatnya menjadikan tauhid itu sebagai spirit dalam kesadaran yang terinternalisasi. Dengan tauhid yang sama, perbedaan tak akan dimaknai sebagai sebab yang bisa melahirkan perpecahan, namun sebagai akibat pasti dari hukum alam.
Pentingnya kesadaran  ekologis
Lao Tse, pendiri sekaligus tokoh utama aliran Taoisme pernah mengatakan bila antara manusia dan alam terdapat hubungan yang mesti dijaga dan dilestarikan. Hubungan antara manusia dan alam bukan hanya hubungan antara subjek dan objek, melainkan hubungan relasional yang mesti dijaga keberlangsungannya. Manusia dan alam sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang mesti saling dijaga.
Sementara yang terjadi saat ini, manusia lebih banyak memperlakukan alam sebagai objek semata. Demi kepentingannya, manusia rela memperkosa alam semesta. Tak heran bila saat ini alam semesta mulai bosan bersahabat dengan manusia. Kebosanan itu alam tunjukkan dengan bencana-bencana dahsyat seperti yang selama ini terjadi. Bencana lumpur Lapindo misalnya, hanya demi kepentingan eksplorasi, prosedur yang semestinya dituruti malah diabaikan. Akibatnya bisa kita lihat sendiri, Lapindo yang dulunya tenang kini menjadi menjadi begitu menakutkan hingga begitu sulit ditaklukkan.
Perilaku kurang bersahabat dengan alam adalah bukti bila manusia tak lagi peduli dengan nasib alam yang  mereka tempati. Yang penting bagi mereka adalah mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari alam semesta. Hubungan relasional antara manusia dan alam yang diajarkan Lao Tse tak akan kita jumpai saat ini. Manusia lebih memposisikan dirinya sebagai subjek yang berhak mengeksplorasi alam semesta. Sedangkan alam hanya mereka jadikan objek yang tak mempunyai hak apa-apa.
Bila hal ini dibiarkan, mungkin alam akan lebih marah lagi. Untuk itu, sekarang diperlukan pemahaman berkesadaran ekologis. Kesadaran ekologis adalah bentuk kesadaran transendental yang memperlakukan alam semesta sebagai partner kerja, bukan objek yang selama ini dipahami. Kesadaran ekologis hanya bisa lahir dari pemahaman tauhid yang benar. Untuk itu, mulai sekarang, sudah selayaknya kita memposisikan alam sebagai partner yang mesti kita jaga hak-haknya. Jangan hanya demi kepentingan ekonomi misalnya, kita memperlakukan alam sekitar semaunya tanpa memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan. Dengan tauhid yang benar dan kesadaran ekologis yang sudah terinternalisasi dalam diri, problem-problem sosial yang selama ini sulit diselesaikan bisa segera teratasi. Dan, tentunya, alam semesta tak akan enggan bersahabat dengan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar