Senin, 01 Agustus 2011

Menggugat "Pemapanan" Pemahaman dengan Hermeneutika


Teks mempunyai dunia yang tak bertepi, ia selalu menarik untuk dikaji dan dipahami menggunakan  berbagai perspektif. Dunia teks adalah dunia imajinal yang memungkinkan siapa pun mendekati dan berinteraksi dengannya. Dari teks lahir pemahaman. Dari pemahaman lahir sikap. Dari sikap lahir perilaku sosial. Jika demikian, membicarakan masalah teks berarti membicarakan sesuatu yang unik. Unik karena darinya lah peradaban manusia banyak dibangun. Bahkan katanya, peradaban kita (baca: Islam) dibangun berdasarkan peradaban teks.
Teks ibarat sumber mata air yang tak pernah kering. Teks itu bisu, hanya pembaca lah yang bisa mengajak teks berbicara. Makanya teks selalu mengundang pembaca (reader) untuk memahami dan mendekatinya. Dan teks tidak lahir dari ruang kosong, ia lahir dari pengarang (author) yang mempunyai latar belakang tujuan esensial dari teks yang diproduksinya. Lalu apa yang harus dilakukan seorang pembaca agar bisa mendapatkan maksud yang diinginkan author? Atau dalam bahasa yang lain, bagaimana seharusnya seorang pembaca berinteraksi dengan teks?.
Pertanyaan ini penting untuk diketengahkan karena cara berinteraksi dengan teks sangat menentukan terhadap pemahaman yang dihasilkan. Setidaknya ada dua cara yang bisa digunakan untuk berinteraksi dengan teks. Pertama, pendekatan normatif-tekstual, yakni dengan cara menerima bunyi harfiah teks tanpa memperhatikan horizon-horizon yang melingkupinya. Dalam pendekatan ini, teks dianggap tidak punya makna lain selain apa yang tersurat dari permukaan lahir teks itu. Dengan demikian makna teks menjadi tunggal, sehingga kebenaran yang dilahirkannya pun menjadi tunggal dan bersifat absolut. Dan pemahaman yang berbeda dengan bunyi harfiah teks akan dianggap salah. Kedua, pendekatan historis-kontekstual atau hermeneutik. Pendekatan ini mencoba memperlakukan teks sesuai porsinya. Yakni dengan memperhatikan horizon-horizon yang melingkupi berbagai dimensi yang dimiliki sebuah teks, baik dimensi pengarang (author), pembaca (reader), dan teks itu sendiri (text). Dalam pandangan pendekatan kedua, kebenaran yang dilahirkan dari sebuah teks tidaklah tunggal. Kebenaran yang dilahirkan bisa bermacam-macam tergantung setting historis si pembaca (reader) saat berinteraksi dengan teks. Sehingga kebenarannya pun tidak bersifat absolut sebagaimana yang pertama. Apabila teks mempunyai tiga dimensi (author, reader, dan text), maka untuk mengkaji teks menggunakan pendekatan yang kedua (hermeneutik), tiga dimensi tersebut harus dikaji secara konprehensif agar si pembaca bisa meraba maksud yang sebenarnya dari si author.
Tulisan ini mencoba untuk menguraikan secara singkat -tentunya dengan keterbatasan penulis- pendekatan yang kedua, tujuannya agar kita menjadi pembaca yang baik dan menghasilkan pemahaman yang objektif, dan yang terpenting kita bisa memperlakukan teks sesuai dengan porsinya.
Hermeneutika, Apa Itu?
Memang harus diakui bila kita tidak mudah menemukan definisi yang pasti tentang hermeneutika. Dalam berbagai literatur, berbagai macam definisi hermeneutika banyak diungkap oleh para pemikir. Kata hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuein yang mempunyai arti "menafsirkan". Secara historis kata ini sering diasosiasikan dengan tokoh mitologi dewa Yunani, Hermes, yang mempunyai tugas untuk menyampaikan pesan para dewa di langit kepada manusia, agar pesan itu bisa dipahami sebagaimana mestinya.
Definisi yang lebih luas tentang hermeneutika adalah definisi Zygmunt Bauman. Menurutnya, hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah teks yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang berakibat timbulnya kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Atau dalam definisi yang lain, hermeneutika sering diartikan sebagai metode menafsirkan sebuah teks dengan memperhatikan variabel-variabel yang melingkupinya. Dengan demikian, tujuan dari hermeneutika adalah untuk mencari makna yang otentik dari sebuah teks. Tentunya makna yang otentik itu menurut perspektif si pembaca (reader).
Bila dipahami lebih dalam, sebenarnya hermeneutika ingin mengatakan kepada kita bahwa dalam proses pemahaman manusia ada pluralitas yang tidak bisa ditolak keberadaannya. Hermeneutika mengasumsikan bila pemahaman manusia tidak tunggal. Asumsi ini didasarkan pada keragaman konteks si pembaca yang pastinya antara satu dengan yang lain berbeda secara sosio-historis. Perbedaan konteks ini kemudian yang melahirkan pemahaman yang bermacam-macam. Sehingga bagi hermeneutika, kebenaran tidak lah tunggal dan tetap. Kebenaran dalam hermeneutika tidak ditentukan oleh teks, melainkan oleh si pembaca yang mempunyai latar belakang historisitas yang berbeda-beda.
Pada awal kelahirannya, hermeneutika digunakan sebagai gerakan eksegesis Bibel oleh gereja. Namun pada perkembangan selanjutnya, F.D.E. Schleiermacher -Bapak Hermeneutika Modern-  mencoba membakukan hermeneutika sebagai metode umum interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra saja. Kemudian Wilhelm Dilthey menerapkannya sebagai metode sejarah. Lalu Hans George Gadamer mengembangkannya menjadi filsafat, Paul Ricoeur menjadikan hermeneutika sebagai metode penafsiran fenomenologis-komprehensif. kemudian lebih diradikalkan lagi oleh tokoh-tokoh post-strukturalis seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida maupun Michel Foucault menjadi 'kritik hermeneutik' (Fahruddin Faiz:2005).
Jika diklasifikasikan secara sederhana, hermeneutika bisa dibedakan menjadi tiga. Pertama, hermeneutika teoritis (hermeneutical theory), yang berisi aturan-aturan metodologis untuk mendapatkan pemahaman yang diingankan si pengarang (author). Atau dalam bahasa yang lain bisa juga disebut dengan hermeneutika yang berisi cara untuk memahami. Hermeneutika teoritis memusatkan perhatian bagaimana cara mendapatkan pemahaman yang benar juga konprehnsif dari sebuah teks atau sesuatu yang dianggap sebagai teks. Tokoh-tokoh dari hermeneutika teorits ini adalah F.D.E. Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti.
Kedua, hermeneutika filosofis (hermeneutical philosophy), yang lebih menekankan kajian mendalam terhadap dimensi filosofis-fenomenologis pemahaman. Hermeneutika filosofis bisa juga disebut dengan hermeneutika yang berisi cara memahami pemahaman. Hermeneutika filosofis lebih dalam lagi mengkaji asumsi-asumsi epistemologis dari sebuah pemahaman dengan memperhatikan aspek historisitas yang dimiliki teks, pembaca, maupun pengarangnya. Menurut Gadamer, dalam hermeneutika filosofis "the question is not what we do, but what happen beyond our willing and doing". Sehingga yang menjadi fokus dalam hermeneutika filosofis bukan lagi mendapatkan pemahaman konprehensif, akan tetapi lebih jauh mempelajari kondisi si pembaca saat memahami teks itu, baik dalam aspek sosio-historisnya, maupun psikologisnya. Tokoh-tokoh yang bisa dimasukkan dalam kategori kedua ini adalah Martin Heideger (hermeneutika dassein) dan Hans George Gadamer. Bagi Gadamer, hermeneutika bukanlah metode memahami sebagaimana dipahami kelompok pertama, tapi hermeneutika adalah seni memahami. Menurutnya, jika hermeneutika dikatakan sebagai metode memahami, maka hermeneutika akan menjebak si pembaca terperangkap pada sistematika metodologis. Sedangkan bila hermeneutika diartikan sebagai seni memahami, maka si pembaca bebas menggunakan cara apa pun dalam berinteraksi dengan teks tanpa terikat dengan metodologi tertentu.
 Ketiga, hermeneutika kritis. Kajian hermeneutika kritis adalah menganalisis proses pemahaman manusia yang sering terkerangkeng dalam otoritarianisme pemahaman, atau dalam bahasa Derrida terjebak pada logosentrisme tertentu, baik karena disebabkan oleh  tercampurnya proses pemahaman dengan determinasi-determinasi sosio-historis-psikologis, maupun karena sulitnya si pembaca melepaskan dirinya dari pre-understanding sebelum memahami. Tokoh-tokoh yang bisa dimasukkan dalam hermeneutika ini adalah Jurgen Habermas, Jacques Derrida, dan Michel Foucault.
Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi
Secara prinsipil, ketiga macam bentuk hermeneutika di atas mempunyai tujuan yang sama, yakni untuk menemukan maksud yang sebenarnya dari sebuah teks, dan mencoba memilah makna yang otentik dengan memperhatikan secara konprehensif variabel-variabel yang ada di sekeliling teks itu. Dan sebagaimana disinggung sebelumnya, teks tidak bisa lepas dari konteks yang melingkupinya, baik konteks si pengarang (author), pembaca (reader), maupun teks itu sendiri (text). Konteks dalam pemahaman hermeneutik menempati posisi yang sentral karena dari konteks lah maksud dari si pengarang bisa diraba. Keberadaan konteks sendiri sangat menentukan terhadap hasil pemahaman si pembaca. Dengan konteks yang berbeda, si pembaca dimungkinkan untuk menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Dan karena teks tidak bisa lepas dari konteks, maka konteks dalam tradisi hermeneutik dijadikan landasan epistemologis dalam mengambil kesimpulan dari sebuah teks.
Dengan demikian, secara prosedural, hermeneutika melakukan tiga hal, teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks dalam hermeneutika dianggap tidak bebas nilai, ia selalu dilingkupi oleh konteks yang melatarbelakangi kelahirannya. Dan konteks lama yang melatarbelakangi lahirnya teks, dijadikan landasan epistemologis dalam proses kontekstualisasi pada konteks baru yang berbeda. Sehingga yang diambil bukan lagi bunyi harfiah teks, melainkan spirit atau tujuan esensial dari teks tersebut. Dalam memahami tujuan esensial sebuah teks, antara satu pembaca dengan pembaca yang lain  bisa saja terjadi perbedaan. Ini dimungkinkan –sebagaimana tertulis di atas- karena konteks sesama pembaca bisa saja berbeda. Oleh sebab itu, maka teks kemudian dianggap bisu, pembaca lah yang bisa membuat teks berbicara.
Yang perlu dipahami, kesimpulan yang dihasilkan dari proses hermeneutik tidak menjadi kebenaran absolut dan tak tersentuh (untouchable). Kebenaran yang dihasilkan dari proses hermeneutik bersifat relatif dan tidak tertutup dari kritik. Oleh sebab itu, dalam pandangan pengguna hermeneutika, tak ada satu pun hasil pemahaman yang dianggap mapan. Hasil pemahaman tetaplah hasil pemahaman, ia bukan doktrin ideologis yang wajib diterima kemapanannya.
Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam
Pada dasarnya Islam sangat menjunjung kreativitas nalar manusia. Dengan tegas Allah dalam al-Qur'an menantang manusia untuk memaksimalkan potensi akal yang dimiliki agar digunakan untuk mengkaji ayat-ayat-Nya, baik yang Qauliyah maupun Kauniyah. Tantangan ini dijawab oleh para pemikir Islam klasik dengan karya-karya monumental yang mereka hasilkan dari proses dialektika mereka dengan ayat Allah. Mungkin dalam bahasa sekarang, proses dialektika yang mereka lakukan bisa dikatakan sebagai proses hermeneutik karena mereka mencoba meraba maksud yang sebenarnya dari teks yang diturunkan Author (Allah). Berkat optimalisasi nalar yang mereka lakukan, Islam mampu mengalami masa keemasan (the golden age), dan menjadi kiblat dunia dalam berbagai hal.
Namun tradisi positif itu mengalami kebuntuan saat hasil kreativitas mereka oleh generasi berikutnya dijadikan monumen kebenaran absolut yang dipahat dalam bentuk doktrin tertutupnya pintu ijtihad. Tradisi ini terus berlanjut hingga Islam mengalami masa kemunduran dalam berbagai hal. Islam yang awalnya berwatak dinamis berubah menjadi statis. Dominasi pemahaman kebenaran yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu melahirkan sikap taklid dikalangan umat Islam. Kebebasan menggunakan rasionalitas yang sempat menjadi ciri khas intelektual Islam sengaja dimatikan dengan proses "pemapanan" pemahaman orang-orang tertentu yang tujuannya untuk melanggengkan status quo, dan selalu berkata "Atas Nama Tuhan".
Namun "pemapanan" pemahaman ini dilawan oleh pemikir Islam kontemporer. Sebut saja Arkoun, dengan nalar kritisnya ia menggugat kemapanan lama yang sudah mengakar. Dipengaruhi oleh tokoh-tokoh hermeneutika seperti Paul Ricouer, Derrida, Foucault, dan Jacques Lacan, Arkoun membongkar paradigma lama yang menganggap bahwa al-Qur'an anti hermeneutika. Begitu pula Hassan Hanafi, lewat hermeneutika, ia mencoba membangun mega proyek monumentalnya, at-Turats wat-Tajdid (tradisi dan pembaharuan) yang kemudian melahirkan istilah al-Yasar al-Islami (kiri Islam). Juga Abed al-Jabiry yang mencoba membongkar kemapanan lama dengan kritik nalar Arabnya.  Kemudian Nasr Hamid Abu Zaid yang melahirkan pernyataan kontroversial bahwa al-Qur'an merupakan produk budaya (muntaj ast-Saqafy) sekaligus yang memproduk budaya (muntij ats-Saqafy). Dan jangan lupakan Muhammad Syahrur, yang dengan hermeneutika strukturalnya melahirkan teori kontroversial, teori limit (nadhariyyah hududiyah). Serta tokoh-tokoh lain yang menganggap hermeneutika sebagai salah satu cara membebaskan manusia dari "pemapanan" pemahaman dari kelompok tertentu.
Penggunaan hermeneutika dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer tidak lain sebagai imbas dari kerangkeng paradigma lama yang cenderung bersifat eksklusif. "pemapanan" pemahaman yang selama ini dianggap benar, digugat oleh mereka yang menganggap bahwa tak ada satu orang pun yang mempunyai otoritas menentukan kebenaran. Apalagi bila kebenaran itu dianggap sebagai doktrin ideologis yang wajib diterima. Ketimpangan inilah yang coba dilawan oleh pemikir Islam kontemporer. Meski cara yang mereka gunakan berbeda, namun tujuan mereka sama, yakni untuk membebaskan manusia dari kerangkeng "pemapanan".
Dengan demikian, tradisi hermeneutik dalam Islam menjadi hal lumrah dan tidak sepatutnya disalahkan, apalagi dianggap sebagai aktivitas sesat dan menyesatkan. Hermeneutika hanya ingin menempatkan pemahaman pembaca sesuai porsinya. Ia (pemahaman) bukan hal baku yang tidak bisa disalahkan (anti kritik). Jika terjadi "pemapanan" pemahaman, maka hal itu telah menyalahi karakter teks yang "mau" didekati oleh berbagai macam pendekatan.
Objektivitas Kebenaran Hermeneutik
Kebenaran yang dihasilkan dari proses hermeneutik tidak mengikat bagi siapa pun. Lalu kemudian, apakah kebenaran yang dihasilkan dari proses hermeneutik bersifat objektif?. Iya, kebenaran yang dihasilkan dari proses hermeneutik bersifat objektif dalam artian sesuai dengan konteks historisnya. Objektivitas pemahaman hermeneutik bukan terletak atas adanya jaminan yang mengikat terhadap kebenaran sebuah pemahaman. Karena sekali lagi, bila sebuah pemahaman dipaksakan untuk diakui kebenarannya, maka pada saat itulah "pemapanan" pemahaman terajadi. Dan pada saat itu pula hermeneutika datang untuk menggugat kenyamanan "pemapanan" tersebut.
Hermeneutika hanya ingin membumikan tradisi kritik bagi siapa pun yang bermaksud menjadi pembaca. Hermeneutika ingin "mengajari" pembaca bagaimana cara berinteraksi yang baik dengan sebuah teks. Tentunya interaksi yang tidak menganggu kenyamanan apalagi menyalahkan bentuk-bentuk yang berbeda darinya.  Sekali lagi, pluralitas pemahaman adalah sebuah keniscayaan. Ia (pluralitas) adalah konsekwensi logis dari sifat manusia yang historis-dinamis. Jadi keragaman pemahaman merupakan anugrah yang selayaknya dilestarikan. Keragaman pemahaman tidak boleh dimatikan, apalagi hanya demi melestarikan "pemapanan" pemahaman lama, terlebih bila hal itu dilakukan "atas nama Tuhan". Tanpa sadar terkadang kita sok seakan-akan kita sedang menjadi juru bicara Tuhan yang mempunyai hak menghukum dan menjudge sebuah pemahaman. Padahal belum tentu Tuhan punya keinginan sebagaimana yang kita bicarakan!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar