Senin, 01 Agustus 2011

Al-Ghazali vis a vis Ibnu Rusyd: Puncak “Perseteruan” antara Filsafat dan Agama


Dalam sejarah pemikiran Islam terdapat dua tokoh populer yang pernah terlibat adu argumentasi dalam masalah filsafat. Al-Ghazali dalam bukunya Tahafutul falasifah mengkritik habis para filosof yang dianggapnya sudah melenceng dari Islam. Ada tiga hal pokok yang membuat Al-Ghazali menyerang secara frontal para filosof, yaitu:
1.      pendapat para filosof tentang kekalnya alam, dan semua Jawhar adalah kekal.
2.      pendapat para filosof yang meyakini bahwa pengetahuan Allah hanya spesifik pada hal-hal yang universal, sedangkan untuk hal-hal yang sifatnya partikular, Allah tidak bisa menjangkaunya.
3.      penolakan para filosof terhadap adanya kebangkitan pada hari kiamat.
Dengan demikian, Al-Ghazali menolak secara total apa yang dihasilkan oleh para filosof, karena menurutnya semua hasil pemikiran filosof bertentangan dengan akidah dan harus dijauhkan dari umat Islam. Sebenarnya buku Tahafutul Falasifah ini adalah kritikan terhadap dua tokoh Filsafat Islam yaitu Al-Farabi dan Ibnu Sina, dari merekalah Al-Ghazali memperoleh pandangan filsafat Aristoteles yang akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa semua yang dihasilkan oleh para filosof adalah rancu, maka dari itu dia menamakan bukunya Tahafutul falasifah (kerancuan para filosof).
Generalisasi yang dilakukan Al-Ghazali merupakan sebuah kekeliruan, karena yang menjadi rujukan utama dalam kritiknya adalah Al-Farabi dan Ibnu Sina. Hal inilah yang membuat Ibnu Rusyd mengkritik balik Al-Ghazali yang dianggapnya terlalu mengeneralisir objek yang dikritik. Dalam buku Tahafut Tahafut, Ibnu Rusyd menyerang Al-Ghazali dengan sebuah argumentasi terbalik yang menyatakan bahwa Al-Ghazali sendiri kurang begitu paham terhadap apa yang ia kritik, dia menganggap kalau Al-Ghazali sudah salah menginterpretasi hasil pemikiran filosof.
Masalah kekalnya alam, menurut Ibnu Rusyd bukanlah seperti kekal yang ada dalam ajaran mutakallimin. Karena kekal dalam filsafat adalah kekal yang akhirnya juga akan mengalami kehancuran. Kesalahpahaman ini terjadi karena Al-Ghazali tidak secara langsung mengkaji filsafat Aristoteles yang merupakan rujukan utama dari Al-Farabi dan Ibnu Sina. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Ibnu Sina telah memasukkan pemikiran-pemikiran mereka secara murni terhadap filsafat Aristoteles dan membawanya pada dunia pemikiran Islam. Dan kesalahan inilah yang menjadi argumentasi Ibnu Rusyd dalam mengkritik balik Al-Ghazali hingga akhirnya ia mengeluarkan buku sebagai jawaban terhadap Al-Ghazali yang ia beri judul Tahafut tahafut (kerancuan kitab kerancuan).
          “Pertempuran” dua tokoh ini merupakan peristiwa besar yang pernah terjadi dalam dunia pemikiran Islam. Peristiwa ini mencerminkan adanya permusuhan antara filsafat dan agama yang sebelumnya sempat berdamai saat Al-Kindi menyatakan bahwa filsafat sama sekali tidaklah bertentangan dengan agama, karena menurutnya, filsafat dan agama selalu selaras dan sejalan. Al-Ghazali sebagai seorang teolog, lebih cenderung pada mutakllimin yang sifatnya lebih puritan dan eksklusif, sedangkan Ibnu Rusyd mewakili kaum rasionalis yang lebih mengandalkan akal sebagai media berfilsafat. Ibnu Rusyd tampil sebagai pembela filsafat dan filosof dari serangan-serangan brutal Al-Ghazali.
          Kita sebagai umat Islam harus mengambil sisi positif dari peristiwa ini, yaitu bahwasanya sejak dulu, tradisi kritik saling kritik sudah lumrah terjadi. Karena Islam tidak mungkin maju tanpa kritik dan mau dikritik. Yang diperlukan sekarang bagaimana kita (umat islam), mampu berfikir inklusif untuk menciptakan agama Islam yang betul-betul universal dan mencakup semua aspek kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar